Mitsaqan Ghalidza : Pernikahan, dan Perjanjian Agung
Oleh: Akmal Nasery Basral, Sosiolog, Penulis
HARI ini--24 tahun silam--saya menikah. Alhamdulillah. Istri berdarah Sumba dari ayah dan Tionghoa-Sunda dari ibu. Saya mewarisi darah Minang dari kedua orang tua. Sebuah pernikahan berlatar multikultural dalam taman keragaman budaya Indonesia yang kaya.
Akad nikah berlangsung di Masjid Ni’matul Ittihad, Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Pemberi khutbah nikah KH Toto Tasmara, da’i kondang di akhir era 90-an. Beliau sudah almarhum namun petikan khutbahnya masih tersimpan ranum. “Pernikahan adalah perjanjian khusus antara dua anak manusia yang berbeda dengan perjanjian-perjanjian lainnya. Ada unsur kemuliaan, kesucian, kesetiaan, penghambaan kepada Allah, dalam akad yang diucapkan,” pesannya.
Dalam Islam pernikahan disebut mitsaqan ghalizan. Mitsaq adalah “ikatan” atau “perjanjian”, sedangkan ghalizan bermakna “kuat”, “kokoh”, “agung”. Maka mitsaqan ghalizan adalah Perjanjian Agung, frasa istimewa yang disebutkan hanya tiga kali di seluruh firman Tuhan di dalam kitab suci Al Qur’an saking eksklusifnya. Bayangkan.
Ketiga peristiwa itu adalah saat Allah menyebut perjanjianNya dengan para rasul ulul azmi yakni Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad s.a.w. (9:7); saat Allah menyatakan perjanjianNya dengan Bani Israil dengan mengangkat bukit Thursina di atas kepala mereka (4: 154); serta sebutan untuk pasangan belahan jiwa yang bersepakat arungi samudera rumah tangga (4: 21). Sepenting itulah makna Perjanjian Agung pembuhul dua hati manusia yang berbeda genitalia.
Namun tak ada pernikahan sempurna karena tak ada manusia paripurna. Merawat pernikahan sering lebih sulit dibandingkan berjalan di atas tanah licin usai hujan yang menyimpan banyak jebakan, sementara di atas kepala ada sekeranjang telur harus dijaga agar tak pecah berantakan. Kesulitan meningkat jika keduanya berjalan berpegangan tangan. Satu pihak yang lengah terpelanting bisa membuat lainnya ikut terbanting. Terguling.