Holand Park: Wajah Baru Generasi Muslim Australia
Oleh: Akmal Nasery Basral. Sosiolog dan Penulis
BRISBANE, Juli 2016. Sekumpulan siswi SMA turun dari bis di depan gerbang sebuah masjid. Imam Uzair Johnson, 45 tahun, menyambut gembira para tamu.
“Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk berkunjung, Imam. Apakah mereka harus pakai kerudung untuk masuk masjid?” tanya guru perempuan yang menemani para siswi.
“Tidak usah. Mereka bisa kepanasan,” Imam Uzair tersenyum. “Ayo kita masuk ke ruang salat utama di lantai dua.”
Di ruang sejuk dengan karpet empuk, para ABG Australia duduk bersimpuh menutupi lutut mereka yang terbuka karena memakai rok pendek sekolah. Busana atas adalah seragam sekolah dengan dasi. Rambut pirang para siswi terurai bebas. Seorang dari mereka mengacungkan tangan, bertanya. “Bagaimana cara seorang muslim mempraktikkan syariat di Australia?”
Imam Uzair Johnson--kelahiran Inggris dan belajar Islam di Pakistan--menjelaskan. “Umat Islam menjalankan syariat seperti orang Yahudi menjalankan agamanya atau pemeluk agama lainnya dengan ajaran mereka. Syariah itu artinya bagaimana berbuat baik kepada orang tua, kepada teman, cara beribadah yang benar, dan seterusnya. Sebuah panduan. Misalkan ada muslim yang datang ke satu tempat bukan tanah muslim, maka mereka tetap beribadah sesuai dengan ajaran Islam tanpa melanggar hukum setempat. Tak ada syariat Islam yang bertentangan dengan hukum Australia,” papar Imam Uzair. Murid yang bertanya mengangguk puas.
Dialog berlanjut dengan aneka pertanyaan lain. Dari kaligrafi Al Fatihah yang ada di bagian depan ruang salat, sampai mengapa di dalam masjid tak ada patung orang suci layaknya di tempat ibadah agama lain.
Adegan di atas tersaji dalam film dokumenter The Mosque Next Door (2017), produksi SBS Australia yang tersedia di Netflix. Serial tiga episode yang ciamik ini berfokus pada aktivitas Masjid Holland Park--sekitar 10 km dari pusat kota Brisbane--salah satu Islamic Center di Queensland.