Batavia Kota Gundik, Nyai, dan Budak
Meski semenjak dahulu kala kota Batavia terkesan gemerlap, faktanya tak hanya surga dunia yang ada di tanah orang Betawi. Neraka dunia pun ada. Tak hanya dilanda kerusuhan, perang, dan kemiskinan, Batavia dulu pun menjadi surga pergundikan atau per-“nyaian”. Bahkan, para sejarawan juga bilang bahwa Batavia hanyalah bagian kecil dari dunia pergundikan yang sudah begitu eksis dan merata pada zaman kolonial.
Bahkan, tidak tanggung-tanggung pada awal 1800 ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels, untuk pertama kali menginjakkan kakinya di Batavia, dia mendapatkan kenyataan buruk, maraknya pergundikan itu. Dia melihat langsung betapa para pejabat Belanda terbiasa hidup berfoya-foya dengan memelihara “perempuan pribumi” tanpa nikah tersebut.
Menyadarit meluasnya pergundikan itu, Daendels yang tinggal di Batavia dengan mengemban tugas khusus dari Napoleon untuk mengamankan Jawa dari serbuan tentara Inggris, segera mengetahui betapa rendah semangat dan moral aparat pemerintahannya di dalam menjalankan tugas. Ia khawatir melihat kenyataan sedikitnya jumlah orang Eropa yang berdiam di Hindia Belanda yang bisa dikerahkan untuk menghadapi bala tentara Inggris bila datang menyerang. Meluasnya praktik “Pernyaian” menjadi salah satu sebabnya.
Penulis buku Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda, Reggie Baay, dalam sebuah wawancara beberapa tahun silam, mengakui situasi itu dengan sikap terbuka. Meski dia orang Belanda dan juga merupakan keturunan “nyai”, mengatakan mulai abad ke-18 M Batavia pada saat itu memang sudah layak disebut sebagai kotagundik dan budak.
‘’Hampir semua pejabat pemerintah pasti punya dua hal tersebut. “Nyai dan budak itulah yang melayani kebutuhan tuan pejabat Eropanya,’’ kata Reggie.