Jejak Orang Mesir di Indonesia: Masihkah Berani Sepelekan Sumbangan Peradaban dari Kaum Kadrun?
Mesir menjadi nama banyak orang Indonesia dengan pelbagai variasi. Di Nusa Tenggara Barat (NTB) ada nama Mesir, Masir, Masri. Di Jakarta Masri, Masserie. Di Tapanuli ada pulau Samosir, di Toraja ada kelurahan Kaero. Buah salak yang manis dan gurih disebut salak masir.
Orang Mesir migrasi pada IV SM ketika negaranya diduduki Alexender de Great (Iskandar Agung). Sebelumnya mereka sudah ke Sumatera Utara mencari kapur barus, tapi tak menetap.
Kalau banyak orang Indonesia memakai nama Mesir untuk diri mereka berarti relasi Mesir-native (penduduk asli) serasi.
Bahkan nama makhluk halus pun diambil dari Mesir: kuntil anak, dari kunti. Dalam paham orang Egypt pra Islam, kunti sejenis necheh-nechech penjaga kubur. Necheh-necheh me-menghalangi gerakan penghuni kubur yang hidupnya berlumur dosa untuk pergi ke syurga. Bedanya kunti necheh-necheh dan kuntil anak: kuntil anak malam-malam suka tertawa hi hi hi hi hi.
Tidak mudah mencari jejak Egypt di Jakarta. Kecuali dengan linguistic. Orang pesisir Tangerang menyebut matahari jadi mateyari. Mateyari bahasa Egypt untuk matahari.
Masri dalam logat Betawi menjadi tiga suku kata masserie. Ini ciri linguistic Betawi.
Nama Masserie, pada foto di atas, dikenal sebagai pengasas perkumpulan Kaum Betawi pada 1918. MH Thamrin saat itu bekerja di gemeenteraad, kotapraja, belum menjadi anggota
Volksraad, Dewan Rakyat. Thamrin direkrut Masserie.
Kalau menyimak toponim Jakarta misal Gang Pa Siin, bukan Si'in tapi siiiiin, itu bermakna tapak (pa) orang bertuhan. Ada bukit Sinai di Mesir, membacanya Sin-ai, oh Tuhan. Ai kata seru yang diresap, atau ada persamaan dengan bahasa Minang:
Ai ai ayam den lapeh...