Sejarah

Para Gadis Bergariah Kursus Penganten di Zaman Jepang

Foto peserta kursus penganten jaman Jepang, sumber majalah Asia Raya 1943.
Foto peserta kursus penganten jaman Jepang, sumber majalah Asia Raya 1943.

Hampir tak terpikir kalau Jepang menggelar kegiatan kursus penganten untuk gadis-gais yang sudi. Yang pria tak dikursus, mungkin dianggapnya banyak lelaki yang telah berpengalaman. Sembarangan saja 'tu Jepang. Ternyata kursus banyak peminatnya.

Kursus antara lain mengajarkan cara bikin kue dari bahan murah, misal kue Satu yang terbuat dari tepung terigu dan sedikit gula.

Satu bukan one, dalam Betawi satu itu hatu, atau atu. Dua bukan two, tapi lebar. Tiga tinggi, bukan three. Betawi genre pemula menghitung four ampat. Dan bukan perempatan tapi prapatan. Prapatan Lima di Tanjung Priuk Kramat Tunggak. Prapatan Tuju di Tangerang. Ini simpang yang paling banyak.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Penganten mesti kenal dapur. Memasak dengan kayu, belum ada kompor. Dapur disanding tomang. Tinggi rendah panas harus tahu, kalau panas tinggi kayu di di dapur yang menyala ditarik satu batang dan dipindahkan ke tomang. Kalau panas rendah tiup dapur dengan semprong. Dan kayu di tomang dikembalikan.

Menggoreng dengan minyak kelapa, sangrai itu menggoreng dengan pasir. Yang disangrai biasanya biji-bijian, termasuk jambu médé.

Perkawinan di jaman Jepang ramai saja. Keterangan ini saya dapat dari ex pengulu di Krukut jaman Jepang. Semangat calon penganten tidak kendor, kata dia.

Hidup kala itu memang makin lama makin susah. Singkong ditambus saja, tidak digoreng. Kalau ditambus itu, singkong diselipkan di kayu bakar.

Dewasa ini makin hari media mainstream dan sosmed makin ramai dengan berita dan ulasan tentang kesulitan hidup rakyat banyak.

Masa' iya sih kita balik ke jaman Jepang? Amit-amit!

*** Penulis: Ridwan Saidi, Politisi Senior, Sejarawan, dan Budayawan Betawi.