Kaca Benggala Kasus UAS: Singapura Negeri Jiran yang Asing?
Kasus deprotasi Ustadz Abdul Somad (UAS) memicu kontroversi. Tapi terlepas dari pro kontra apa pun posisinya menandakan rakyat Indonesia makin tidak mengerti apa yang kini tengah terjadi di sana. Negeri yang punya patung singa itu, bagi guru besar filsafat Islam dan penyair terkemuka, Prof Dr Abdul Hadi WM mengisyaratan sebuah kaca benggala bagi publik Indonesia bila Singapura negera tetangga (jiran) yang asing.
''Ya Singapura bagi saya seperti melihat suku putihnya Australia. Mungkin di Singapura suku putih itu menjadi 'suku kuning'. Tapi biarlah, biar itu menjadi masalah politik saja. Masalah kita dengan sebagaian warga Singapura adalah kita ini masih serumpun. Suka tidak suka semua itu ada faktanya. Padahal Singapura moderen adalah wilayah tanah suku Melayu yang dahulu bernama Tumasik itu. Kalau soal ini ditarik jadi soal politik ruwet. Ini akan mudah di urai bila dilihat melalui soal budaya. Dan semua ini tugasnya pemerintah atau pihak yang kini punya kuasa,'' kata Abdul Hadi.
Bagi Abdul Hadi, masalah yang kini muncul terkait dengan UAS ketika hendak masuk ke Singapura mencerminkan rapuhnya hubungan yang ada di kawasan Asia Tenggara. Mereka bergerak sendiri-sendiri serta tidak dapat merumuskan langkah bersama.''Bahkan kini negara yang ada di kawasan Asia Tenggara saling berlomba. Apalagi bila kemudian melihat kepentingan hegemoni kawasan, ancaman perang di kawasan Pasifik dan laut China Selatan, hingga ancaman meluasnya perang Rusia-Ukrauna. Mereka tengah berjaga-jaga ke arah sana."
''Dalam soal ini saya hanya punya pesan kepada semua pihak baik di dalam dan luar negeri. Jangan terlalu bersikap jumawa. Ingat sejarah, suatu wilayah yang kemudian menjadi sebuah negara itu bisa muncul, meluas, menyempit, dan menghilang. Pahami itu. Kalau terjadi seperti ini hanya rakyat yang tak tahu apa-apa yang menjadi korban,'' ujarnya.
Bagi Abdul hadi yang juga pakar kebudayaan Islam dan bahasa Melayu, sudah tak lama tak merasa tertarik bila dengan sengaja mengunjungi Singapura. Ini karena memang di negara itu sebenarnya tak bisa melihat apa-apa. Tak ada budaya yang menarik hati di sana.''Kalau saya tak diundang ke seminar atau pertemuan saya tak mau berkunjung ke Singapura. Kalau berlibur saya memilih pergi Eropa, Rusia, Timur Tengah, hingga kawasan Asia yang lain. Simpel saja, untuk apa pergi ke Singapura bila hanya untuk melihat patung singa, makan mie Bandung, rendang, nasi lemak, atau kopi Semarang. Mending pergi saja langsung ke kota atau wilayah asal makanan tersebut saja. Tak usah ke luar negeri kalau begitu,'' ujarnya.
Bukan hanya itu, di masa lalu Indonesia dan Singapura pernah punya hubungan 'panas' --bahkan mengarah perang'. Pada zaman Presiden Soekarno ada aksi perlawanan prajurit TNI Oesman dan Harun yang mendapat perintah membebaskan Singapura dari kungkungan imperalis barat (Inggris). Hasilnya Oesman-Harun tertangkap ketika hendak lari di Singapura naik perahu. Setelah itu dua orang prajurit TNI tersebut dikenai hukuman gantung.
Akibat peristiwa itu, hubungan Indonesia-Singapura sangat tegang. Tensi ini baru turun ketika Lee Kuan Yew yang kelahiran Surabaya dan kemudian menjadi perdana menteri berkunjung ke Jakarta menemui penguasa pengganti Soekarno, yaitu Soeharto. Kebetulan kala itu penguasa politik Indonesia menghentikan aksi konfrontasi dengan Malaysia (waktu itu Singapura masih menyatu dengan Malaysia).
Selain itu, tensi tinggi hubungan Singapura dan Indonesia makin menurun setelah dalam kunjungan tersebut Lee Kuan Yew itu secara khusus datang ke Taman Makam Pahlawan Kalibata untuk menabur bunga di atas pusara Oesman dan Harun. Tensi itu makin melandai lagi kala Singapura melalui Lee Kuan Yew itu bersikap takzim dengan Presiden Soeharto. Kebetulan lagi, pada zaman tersebut Indonesia bisa melejetikan kekuatan ekonominya sehingga menjadi negara yang disegani dan masuk dalam kategori 'Lima Macan Asia'. Lee Kuan Yew oun berendah diri dengan mengatakan betapa Singapura yang mungil begitu tergantung dengan Indonesia. Katanya, bila Indonesia bermasalah Singapura pun pasti bermasalah.
Dan benar, salah satu ketergantungan Singapura yang paling sederhana terbukti ketika 'negara kurcaci' di ujung Selat Malaka itu hendak melebarlkan perairananya. Mereka menambal negara itu melakukan reklamasi dengan cara mengangkut pasir dari kawawan pantai timur Sumatra. Saat itu banyak pihak di Indonesia yang marah, tapi karena pengekspor pasir itu terindikasi dilakukan orang elit kasus ini menguap begitu saja. Hilang tertiup angin.
Saat ini pun bagi warga Indonesia juga memandang tidak terlalu positif kepada Singapura. Mereka sadar dan paham betapa banyak pengemplang duit dan koruptor Indonesia lari dan menyimpan uang di sana. Singapura masih diidentikan sebagai negari persembunyian para orang bermasalah. Bahkan, di dekade 1980-1990 ada kasus aib betapa negeri itu menyimpan 'dana hitam' Indonesia. Kala itu Panglima ABRI Jendral Benny Moerdani sampai bersaksi di depan pengadilan Singapura bahwa ada dana hasil korupsi dari Pertamina di simpan di sana. Jendral Benny saat tersebut sampai tega membenarkan bahwa praktik pemberian komisi kepada pejabat merupakan hal biasa di Indonesia.
Maka ke depan, biarlah sejarah berlayar dengan logikanya sendiri. Tak usah terlalu romantis menyebut bila Singapura atau Tumasik (Temasek) merupakan bagian Nusantara pada masa lalu. Tak usah terlalu hiperbola menyebutkan fakta bila pada abad ke-12 s.d. 14 M, Tumasik bersama Kedah merupakan pelabuhan-pelabuhan penting di Semenanjung Malaya.
Ingat akibat sikap yang 'berlebih-lebihan itu' yakni ketika Tumasik dianggap merupakan kota perdagangan yang cukup besar dan penting dalam jaringan perdagangan internasional, hanyalah menjadikan Tumasik selalu mempunyai posisi menggiurkan untuk dikuasai bangsa lain. Sebab, jelas banyak kerajaan yang pernah menguasai Tumasik yaitu Sriwijaya sampai akhir abad ke-13 M dan Majapahit sampai abad ke-14 M. Pada abad ke-15 M, Tumasik berada di bawah kekuasaan Ayutthaya-Thailand; dan selanjutnya dikuasai Kesultanan Malaka sampai pendudukan Portugis 1511 M.
Akhirnya, terkait kasus UAS, yang membuat saya tercenung adalah ketika teringat idola masa kecil saya, yakni Fandi Ahmad. Si pesakbola keturunan Pacitan ini saya yakin gundah akan kasus ini. Dan saya juga menjadi trenyuh ketika ingat pula penyair besar Singapura keturunan Jawa, Suratman Markasan. Dalam pertemuan di Bukit Tinggi beberapa tahun silam saya merasa begitu dalamnya perasaannya untuk memahami arti kebersamaan tanah dan puak Melayu.
Alhasil, saya pun semakin gundah dan cenderung menjadi kurang percaya tentang kedekatan Singapura degan puak Melayu (Indonesia). Saya hanya tersenyum sendiri dengan getir ketika Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri menuliskan syairnya dengan cara berseloroh bahwa ketika duduk sembari menyelojorkan kakinya di pantai Tanjung Pinang, maka sebelah kakinya itu sudah langsung terjulur menjejak tanah Tumasik (Singapura).
Aduh SIngapura, kenapa kamu kini seakan menjadi negeri jiran yang asing? Jarakmu yang hanya sepelemparan batu itu menjadi sangat jauh. Seolah kamu berada di kawasan planet lain...!