Mualim Teko, Ki Alang Intelek Kota Inten XVI-XVII M, dan Tradisi Besar Literer Betawi
Oleh: Ridwan Saidi, Budayawan Betawi dan Sejarawan.
Dalam sebuah lukisan yang menjadi koleksi British lithography berangka tahun 1610, (lihat foto di atas), tampak Ki Alang mengenakan jubah putih. Ia tinggal di Daleman, Kota Inten. Kala itu wilayah ini adalah hunian orang-orang Betawi terpandang.
Ia menulis buku Hikayat Tumenggung Al Wazir. Kemudian diterbitkan Balai Pustaka. Penyimpan naskah terakhir Gebar Naman yang pada tahun 1920 menyerahkan pada Volkslectuur.
Dalam bukunya itu a.l Ki Alang menceritakan "duel" ketrampilan berpikir dia vs "pangeran" Jayakarta di gubuk "pangeran" di Pajagalan. Karena kepepet, "pangeran" usir Ki Alang. Ini a.l yang menyulut kemarahan pasukan Betawi di Sunda Kalapa. Apalagi pasukan Betawi saat itu sudah bersenjata senapan api.
"Pangeran" diserbu dengan tembakan dar der dor. Kemudian, dalam keadaan terluka, "pangeran" bersama 10 pengawal lari ke arah barat. Yang lainnya, termasuk Wikrama, tewas di tempat.
Menurut kesaksian penduduk Kampung Gusti, sekitar 1990-an ketika dilakukan penggalian untuk bangun SPBU di Kp Gusti ditemukan puluhan kerangka orang ber-tumpuk-tumpuk.
Tradisi literer di Betawi sedikitnya sejak Mualim Teko, atau Layt Abu Nashr, wafat 983 M, yang menulis yang oleh orang Betawai disebiut Kitab Baca-caaban dan Kitab Masail. Tapi sebenarnya sejak berfungsinya Labuhan Kalapa Kali Adem sudah banyak orang Betawi yang menjual jasa sebagai 'Gusti', ahli tulis menulis. Transaksi bisnis kala itu semuanya bersiat tertulis. Ke arah Teluk Gong dari Pejagalan ada Kampung Gusti.
Di akhir XVII M VOC berniat bikin landraad, pengadilan. VOC mengundang Mualim Asmat bin Asba sebagai nara sumber. Asmat bin Asba usinya sepantaran dengan Tumenggung Imam Kuningan, Betawi yang ulama tapi juga kaya.
Sebelumnya, intelek bekend lainnya adalah Syahbandar Wa Item dan Patih Majakatera Mundari Tandam yang melejit namanya sejak tahun 1521. Jasa dan nama mereka itu ada dalam perjanjian Portugis saat berinivestasi dalam-namapembangunan labuhan Sunda Kalapa II
Nama kedua sosok tersebut tingkat popularitasnya di bawah Pitung. Apalagi Pitung dikisahkan dapat mengganda diri menjadi tujuh sosok. Pitung = pitu (Jawa: tujuh) + ng. Yang empunya cerita tak jelaskan arti "ng" apa.
Padahal ini nama julukan, aslinya ia Solihun. Lihat catatan dari bukunya Margriet van Tiel, 1984).
Alhasil. bila sejak masa reformasi ini terjadi perubahan pola rekrutmen yang mengutamakan. hubungan 'sedarah dan sekantong mengancam' jelas index kecerdasan bangsa meluncur ke lantai dasar.
Sungguh itu soal tidak mudah, tapi harus, susun dan jalankan konsep pembangunan masyarakat pasca reformasi.