Budaya

Maestro Lawak Basiyo: Dari Dagelan Mataram, Jong Islamieten Bond, Hingga The Beatles

Basiyo, Pelopor 'Dhagelan Mataram'.
Basiyo, Pelopor 'Dhagelan Mataram'.

Basiyo, pelawak legendaris 'dagelan Mataram, adalah anak tukang sepatu yg tidak ta han pada bau kulit. Basiyo remaja sudah tidak asing lagi dengan dunia seni. Ketika remaja ikut main kethoprak sebagai tukang kerek layar. Basiyo menjadi abdi dalem dengan gelar Lonthang Pangarso. Lonthang artinya penari dan Pangarso artinya di de- pan. Basiyo menjadi penari pembuka, biasanya berperan sebagai seorang punokawan dan sebagainya. Basiyo bekerja sebagai tukang wenter pakaian prajurit kraton,

“Ing nalika njandhak oemoer 18 taoen sinaoe dados toekang sepatoe, nanging padamelan waoe kapeksa katilar, amargi nalika oemoer 24 taoen njambi menter, nanging ing wasana oegi kapeksa katilar. Ing wekasan doemoegi sapoenikanipoen mligi namoeng nindakaken kethoprak, kalebet dhagelanipoen ingkan kondhang waoe. sing nyok ndelok ketoprak mesthi iso yen maen....wong sok ndhelok ketoprak...didapuk....jadi juru taman.....dagel.....malah sae....lajeng mbantu. “

(Pada waktu umur 18 tahun (Basiyo) belajar jadi tukang sepatu, namun pekerjaan itu terpaksa ditinggalkan karena pada umur 24 tahun bekerja sambilan jadi tukang 'wenter' (mencelup kain), tapi pada masa berikutnya juga ditinggalkannya. Pada akhirnya dari dahulu sampai sekarang pekerjaannya cuma satu yaitu menjadi pemain kethoprak agar bisa bermain secara bauk.... sebab pada orang yang menonton kethoprak --dia beperan ..nenjadi juru taman.. melucu.. ini malah baik.. kemudian dia membantunya..."Kisan atau pernyataan ini ada dalam buku ‘Kagoenan Djawi Serie I, karta budayawan Karkoko Partokoesoemo.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Basiyo kondang sejak masa 1930-an di ketoprak dan dagelan. Pada 1935, Basiyo melakukan pentas perdana di Mangkunegaran (Solo). Pentas itu ramai. Ratusan orang menonton dengan bergairah tanpa perlu sungkan tertawa alias ngakak. Pada waktu berbeda, Basiyo juga berpentas di Sriwedari dan Balekambang (Solo). Basiyo pun resmi moncer di Yokyakarta dan Solo. Undangan pentas digenapi dengan siaran radio di SRV dan SRI. Para pendengar diajak tertawa. Kemonceran di Yogyakarta dan Solo berlanjut ke Semarang. Basiyo kadang berpentas di Semarang di pelbagai acara. Konon, ia pernah diundang untuk acara pengumpulan dana demi kelancaran kongres yang diadakan oleh Jong Islamieten Bond (Semarang).

Pada tahun 1940, Basiyo tergabung dalam kelompok Dagelan Kuping Hitam. Pada masa penjajahan Jepang, tahun 1942, Basiyo keluar dari grup Kuping Hitam dan mendirikan grup yang bernama Dagelan Tangan Merah. Penamaan grup terinspirasi dari pekerjaan Basiyo selaku pewenter pakaian yang mana tangannya selalu merah ketika mewarnai pakaian. Grup Tangan Merah pernah melakukan pementasan di atas gerobak karena tidak bisa siaran di Radio MAVRO. Kondisi seperti itu disikapi Basiyo dengan santai dan guyonan, panggung di atas gerobak disebutnya sebagai Radio Zonder Gelombang.

Pada masa Revolusi Fhisik tahun 1946, Basiyo mendirikan grup Kethoprak Tri Mudhotomo yang berlokasi di Pathuk. Berikut penuturan Widayat:

“Saya ketemu Basiyo tahun 64 akhir, masuk sebagai anggota kethoprak mataram RRI Yogyakarta, pak basiyo sudah di situ, tetapi belum menjadi dagelan yang kondang, masih menjadi anggota grup kethoprak RRI pimpinan pak Cokrojiyo...dapukan belum dagelan karena sudah ada dagelan Bekele Tembong, pak Toge, Cokrojiyo, Noto Pustoko. Membantu dia menyiapkan ember...dapukan paling banter jadi pecalang/utusan raja.”

Pelawak senior masih ada, Basiyo tahun 1960-an baru muncul ndagel. 1950-1960 Basiyo menjadi pangrenggo suara, kalau menirukan suara anjing paling bagus.Saat itu, dia sudah bekerja di RRI Yogyakarta. Namun, bukan untuk mengisi suara sebagai tokoh tertentu dalam ketoprak, melainkan menjadi pengisi suara latar. Seperti, lolongan serigala. Kadang dia mesti memukul blek atau seng untuk membuat efek suara petir. Atau menirukan suara tawa buto ijo. Pak Basiyo memang didapuk untuk menata suara bersama Widayat sebagai karyawan baru. Masa itu Basiyo terbilang masih belum lucu. Lawakannya kalah kocak dibanding seniman ketoprak lain seperti Togen atau Jayengdikoro.

Kesempatan tampil Basiyo terbuka, karena ide dari KRT Wasitodipuro, seniman karawitan Yogyakarta, agar acara Uyon-uyon Manasuka RRI ditutup dengan pangkur jenggleng. Basiyo dinilai orang yang tepat untuk acara tersebut. Acara itu disiarkan pada jam tujuh pagi. Basiyo pun kian luas dikenal khalayak.

Pada masa 1960-an, politik di Indonesia bergolak di Yogyakarta, di tembok-tembok bisa dibaca tulisan: Beatlles, no! Basiyo, yes!. Pada masa 1970-an, Basiyo pentas di panggung yang diselenggarakan Golkar. Secara tidak langsung keberadaan Basiyo turut mendukung Golkar sukses berpolitik. Meskipun Basiyo sendiri tidak berpihak pada satu partai politik.

Pangkur Jenggleng sendiri dipopulerkan mulai sekitar tahun 1963 oleh Basiyo dan Nyai Prenjak, seniman lawak dari Yogyakarta. Pangkur jenggleng selain dibuat dalam bentuk album kaset juga disiarkan di RRI Nusantara II Yogyakarta. Pangkur Jenggleng pada saat itu merupakan seni tembang (nyanyian) yang diselingi dengan lawakan (majalah. tempointeraktif. com). Dengan meninggalnya Basiyo pada 31 Agustus 1979, acara Pangkur Jenggleng pun juga semakin surut.

Sumber: Buku BASIYO (1916 – 1979) :MAESTRO LAWAK “DAGELAN MATARAM, karya TRI WAHYONO YUSTINA HASTRINI NURWANTI