Sejarah

Chairil Anwar, Aktvis, dan Anak Muda Jakarta Dahulu Nongkrong di Mana?

Taman Ismail Marzuki tempo dahulu
Taman Ismail Marzuki tempo dahulu

Di Jakarta penyair Chairil Anwar permah tinggal di Gang Arab No.18 Sawah Besar. Orang tua saya di rumah No. 20-nya. Rumah kami sebelah menyebelah, saat itu saya masih kecil dan tidak punya memori tentang itu.

Kemudian dari para senior Sawah Besar saya dikasih cerita tentang Chairil yang suka nongkrong di tukang kopi di perempatan Pecenongan dekat gombongan kuda. Kata mereka kue pancongnya enak. Tukang kopi panjang umur, ketika dewasa saya pun menikmati kue pancong si Mas, panggilan dia, sambil menyeruput kopi jagung. Itu waktu jaman Orde Lama.

Wak wak gung

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Nasinya nasi jagung

Kopinya kopi jagung

Penggedé serba Agung

Yang kecil ketiban pulung lang ling lung

Kata orang Sawah Besar kalau lagi ikut nongkrong di tukang kopi, Chairil menikmati obrolan walau partisipasinya sekedar saja. Chairil perlu break sejenak. Itulah nongkrong di tukang kopi .

Durasi nongkrong di tukang kopi sejak mentari pergi hingga angin malam berhembus after midnite. Kapasitas kang kopi maximun 8 orang saja, dan warung tak beratap pula.

Balai Budaya Jl Gereja Theresia juga tempat nongkrong sampai awal Orde Baru dengan selingan Resto Padang Ismail Merapi di Kramat Bunder.

Para aktivis seni, budaya, film dan wartawan banyak yang nongkrong di Ismail Metapi sekitar tahun 1950-an, antara lain SM Ardan.

Bangunan-bangunan di Kramat Bunder digusur Pemda DKI, akhirnya aktivis seni kembali ke Balai Budaya.

Era reformasi Taman Ismail Marzuki Cikini tempat favorit aktivis kumpul-kumpul antara lain di Restoran Penus.

Pelukis, cineast, penyair, aktivis sehari-hari kumpul di Penus. Tempatnya strategis di jantung kota Jakarta. Umumnya lokasi tempat-tempat nongkrong begitu, mulai dari Pecenongan, Balai Budaya, Resto Ismail Merapi, hingga TIM.

Itu semua sudah masa lalu. Gubernur Anies renovasi TIM sehingga berkelas. Memang di TIM baru saat ini sulit cari tempat nongkrong.

Rutinitas hidup perlu break, tapi kita akan nongkrong dimana?

Penulis: Ridawan Saidi, Sejarawan dab Budayawan Betawi.