Sejarah

Jiwa Juang Kita: Terkenang Himmah Orang Betawi Kala Mengungsi di Zaman Revolusi

Bung Karno memberikan salam nasional kepada massa rakyat yang kala itu datang dari seputaran tanah Betawawi (Jakartaa). Tampak di sebelahnya Moh. Moeffreni Moe’min (Tokoh Betawi dan Ketua BKR Jakarta Raya) dan diikuti dari belakang Bung Hatta, Tan Malaka bertopi tuan kebun dan anggota kabinet, seperti Ali Sastroamidjoyo. Terlihat juga Adam Malik berkacamata hitam di sebelah kiri depan. Sumber : Arsip Foto IPPHOS 1945-1950 Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia
Bung Karno memberikan salam nasional kepada massa rakyat yang kala itu datang dari seputaran tanah Betawawi (Jakartaa). Tampak di sebelahnya Moh. Moeffreni Moe’min (Tokoh Betawi dan Ketua BKR Jakarta Raya) dan diikuti dari belakang Bung Hatta, Tan Malaka bertopi tuan kebun dan anggota kabinet, seperti Ali Sastroamidjoyo. Terlihat juga Adam Malik berkacamata hitam di sebelah kiri depan. Sumber : Arsip Foto IPPHOS 1945-1950 Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia

Tulisan saya (cabe, catatan babe) pada hari ini i dan esok 19/7/2022, lahir didorong rasa pilu membaca pernyataan seorang professor dari almamater saya yang undervalued (mengangap rendah nilai) semangat juang generasi bangsa yang gandrung perubahan, dan dibandingkannya pula dengan Srilanka. Saya ingat lagu tahun 1960-an:

Pilu rasa hatiku

Karena kecerdasan (dipesetin dikit dari kau) pergi jauh

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Saya menjadi ingayt pada suatu obrolan malam pada tahun 1980-an di sebuah warung sate Tenabang dengan jurnalis kondang dan budayawan kondang Mahbub Djunaedi. Dia berkata,

"Wan, jaman revolusi gue belum balegh, gue bingung orang tua gue ngajak ngungsi ke Solo. Ngapain ngungsi?,'' omongnya.

Pada Januari 1946 Jakarta diduduki lagi Belanda, Machbub kemudian membuat prakira bila 600 ribu orang Jakarta mengungsi. Berbanding total populasi Batavia en Ommelanden (sekitar) sensus 1930 yang 1.8 juta, dan native (orang asli) Betawi 60%. Jadi bila sampai 600. 000 jadi pengungsi, maka itu jumlah yang banyak.

Setiap rumah keluarga besar Betawi itu harus ada 1 unit keluarga yang jaga. Lazimnya, keluarga ayah jaga rumah.

Orang-orang Betawi itu mengungsi antara lain ke Bandung, Sukabumi, Purworejo, dan Solo. Mereka ditampung keluarga Betawi yang sudah menjadi warga setempat.

Percakapan saya kemudian dengan keluarga yang mengungsi tentang alasan mengungsi di antaranya adalaH:

Kita gak mau dijajah lagi

Kok musti mengungsi?

Kita gak suka sekota lagi sama penjajah.

Dialog ini geestelijk menyentuh. Ini soal jiwa. Seorang professor yang telah bersenyawa dengan pustaka, mungkin sulit menjiwai perasaan orang yang inginkan perubahan.

Mereka yang mengungsi itu banyak yang tinggalkan pekerjaan, bahkan sampai tiga tahun. Pengungsi kembali Jakarta tahun 1949.

Saya tidak mengerti bagaimana ekonomi mereka di masa pengungsian, dan bagaimana pula dengan keluarga yang menampung. Semua ini tidak akan terjadi tanpa jiwa juang

Jiwa juang = n. Tak terkira untuk membangun Indonesia kembali. Pintar itu soal raport dan diploma. Kecerdasan, kata Subchan ZE eks Wakil Ketua MPRS, adalah soal himmah (Semengat) ilmu.

"Apa Mas himmah ilmu?,'' tanyaku.kepada Subchan.

Dia menjawab: "Ridwan, definisi tak selalu verba, tapi empirisme,'' jawab Subchan pendek.

Penulis: Ridwan Saidi, Sejarawan dan Budayawan Betawi.