Politik

Entah Pasrah atau Putus Asa: Kisah Tukang Ojeg yang Menangis Pada Hari Pertama Kenaikkan BBM

Petugas pom bensin mengganti papan harga tarif BBM.
Petugas pom bensin mengganti papan harga tarif BBM.

''Saya hanya bisa pasrah bang? Mau apalagi." Begitu seloroh tukang ojek di dekat rumah yang berada tak jauh dari stasiun halte trans Jakarta Puri Beta 2 di kawasan perbatasan Jakarta Selatan dan Kota Tangerang. Kala itu selang sehari setelah BBM dinaikan. Suasana malam pun sudah mulai larut. Jarum jam mendekati pukul 22.30 malam.

''Hari ini sepi. Tak seperti biasanya yang bisa sampai 15-20 kali narik. Sekarang hanya sembilan kali mendapat penumpang. Padahal hari ini Minggu lho bang. Biasanya warga ramai dan kami sering kerepotan melayaninya,'' kata si tukang ojek yang mengaku anak asli Betawi bernama Ibrahim dari kampung Peninggilan.

Sepanjang perjalan pulang yang sebenarnya sebelum pandemi Covid 19 biasanya dicapai dengan berjalan kaki sekitar 10 menit, Ibrahim bercerita soal nasibnya ketika harga BBM dinaikkan. Sekilas tongkrongannya tergambar bukan orang tak punya. Dia keren dan necis dengan jaket kebanggaan profesinya yang berwarna biru. Yang paling penting dari motornya yang bukan 'Moge' maka tanki bahan bakarnya pasti bukan premium kelas mahal.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

''Motor saya hanya pakai pertalite bang. Bukan tak mau pakai premium. Tapi duitnya kagak gableg untuk beli. Padahal kalau pakai BBM yang mahal enak bang. Tarikannya kencang dan juga jarak tempuh konsumsi BBM dalam kilometernya lebih panjang,'' katanya ringan.

Ibrahim kemudian bercerita makin riuh ketika menyinggung soal penghasilan ojeknya rata-rata setiap hari. Menurutnya dalam sehari dia dipastikan akan menghabiskan dana untuk bensin Rp 50 ribu. Akibat kenaikkan BBM yang besarannya sampai sepertiga dari harga semula, maka biya konsumsi BBM untuk sepeda motornya ikut naik menjadi 65 ribu.

Selanjutnya Ibrahim yang merupakan lulusan sekolah kejuruan merinci pendapatan itu untuk kebutuhan hidup sehari-hari dengan tiga orang anak dan seorang isteri.''Jadi saya mendapat uang dari ojek rata-rata per hari Rp 200.000. Sebelum kenaikkan BBM, pendapatan uang sebanyak itu dipotong konsumsi BBM Rp 50 ribu, Untuk uang makan dan minum selama bekerja seharian Rp 50 ribu. Untuk biaya cicilan motor dan biaya perawatan kendaraan seperti ;'tune up', ganti ban, perbaiki rem per hari diperkirakan Rp 50 ribu. Jadi lazimnya saya pulang bawa uang Rp 50 ribu. Begitu rinciannya bang,'' katanya.

''Jadi abang bisa hitung sendiri kalau tarikan penumpang saya hari ini hanya sembilan kali. Rata-rata pengojek dari halte transjakrta itu jarak pendek hanya bertarif Rp 15 ribu saja (tarif minimal ojek online sesuai aplikasi). Jadi sekarang berapa duit yang bisa saya pulang abang? Padahal saya punya anak tiga dan isteri?,'' tukasnya lagi.

Ibrahim bercerita penumpang yang hilir mudik di Jakarta keramainnya sebenarnya belum pulih akibat pandemi Covid 19. Maka dia paham bila tarikan ojek on line belum maksimal, yakni bisa mencapai 15-20 kali seperti dahulu. Dia pun mengaku makin pusing dan hanya pasrah setelah mendengar keputusan kenaikkan BBM oleh Presiden Jokowi.

''Ya gimana lagi bang. Lucu aja ya. DI mana tuh elit dan partai politik yang selama ini klaim lindungi wong cilik. Dulu ketika ada kenaikkan BBM mereka nangis-nangis di depan kamera televisi. Nah, sekarang kok gak kelihatan ya,'' katanya.

Tak hanya itu dia pun mengeluhkan status dirinya yang hanya dijadikan 'mitra' oleh pengelola ojek on linenya.''Mitra kan berati seperti teman kan. Kalau begitu pintar juga ya mereka kami jadikan mitra supaya kami tak dibayar gaji sebagai karyawan dan tak perlu urus pembelian motor dan perawatanya. Saya pikir ini model bisnis yang keren. Untung bagi dia buntung atau susah bagi kami.''

''Sekarang sudah larut kan bang. Saya pulang saja ke rumah. Capai. Paling-paling di rumah anak-anak sudah tidur. Jadi gak akan dengar lagi teriakan anak-anak minta jajan ketika ada pedagang lewat di depan rumah kami yang masih kumpul sama orang tua. Dahulu memang sempat kontrak sendiri, tapi seiring pandemi Covid kami pulang. Gak kuat bayar kontrakan sederhana meski hanya Rp 600 ribu per bulan,'' kata Ibrahim lagi-lagi pasrah ketika perjalanan sampai ke tujuan.

Tak hanya itu, wajah Ibrahim semakin sedih ketika ditanya apakah akan pulang ke kampung isteri di Gunung Kidul, Jogjakarta, bila situasinya semakin susah.''Gak bisa abang. Di sana juga gak ada apa-apa. Dia juga tak punya lahan untuk bertani. Lha saya anak asli Betawi yang tak pernah pegang cangkul. Untung masih ada rumah orang tua yang bisa ditinggali ramai-ramai mesi tempatnya kecil dan sumpek,'' tegasnya.

Masih untung? Ternyata meski hidup sangat susah Ibrahim masih bersyukur. Minimal syukur masih bisa bernapas!