Agama

Budaya Moor dan Andunisi

Suasana Kampung Bar, Pekojan, Tambora, di masa lalu. Lihat bangunan yang terpengaruh gaya budaya Moor. Sebelah kiri adalah gambar bangunan Masjid Pekojan dari samping.
Suasana Kampung Bar, Pekojan, Tambora, di masa lalu. Lihat bangunan yang terpengaruh gaya budaya Moor. Sebelah kiri adalah gambar bangunan Masjid Pekojan dari samping.

(Photo mesjid Moor di Kampung Baru, Pekojan, Tambora, dibangun th 1743)

Nama Moor/Moro (Orang Eropa menyebut Moor sebagai orang dari Selatan yang Muslim,red) selain di mesjid Kampung Baru juga di situs betsheba pulau Bidadari: Mortelo atau Moro Telo, telaga Moro. Oleh arkaeolog disebut benteng. Untuk meyakinkan dirinya bahwa ini benar benteng (kasteel) mereka pajang beberapa meriam fitik (kecil) sebesar kuda-kudaan kayu.

Pada abad 17 terbit kamus Melayu-Madagascar. Orang-orang Moor merantau dengan pintu keluar Madagascar. Orang Moorv dari Afrika itu berbahasa Swahili. Indonesia dari bahasa Swahili artinya kenegerian Ibu Suri. Nama Nusantara tak dikenal dalam peta navigasi mau pun migran.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Apa kata Andunusi dikenal oleh native (pribumi)?

Andunisi nama yang shahih. Dipakai oleh mukimin, pemukim, kita di Makkah XVIII s/d awal XX M. Ini reaksi atas penamaan Belanda kepada mereka sebagai kontingen Jawa. Padahal pemukim itu ada Al Banjari. Al Minangkabawi, Al Falimbani, Al Batawi. Di antara mereka ada yang memakai Andunisi yaitu pengarang kitab Al Mazhab Syekh Abdul Kadir Abdul Mutalib Al Andunisi.

Kita pun akrab dengan kata andunusi. Anduang dalam Minang itu ibu suri. Perahu Pinisi itu lintas negri.

Nama-nama hari yang lima juga dari Moro:

1. Senen, awal hari

2. Selesa, nyaman

3. Rebo, ramai

4. Kemis, kasih sayang

5. Jumahat, berkumpul.

Saptu dan minggu muncul ketika sepekan jadi 7 hari.

Ini pengaruh pedagang-pedagang Islam yang datang ke zona-zona ekonomi yang ada di Andunisi.

Minggu dari mango atau mangga. Pasar penjual mangga dan buah-buahan lain Pasar Minggu.

Diperkirakan abad XV/XVI orang Portugis yang datang mulai tahun 1485 juga menghitung sepekan itu 7 hari.

Penulis: Ridwan Saidi, Budyawan Betawi dan Sejarawan.