Olahraga

Tragedi Kanjuruhan: Ketika Industri dan Media Turut Andil Membuat Sepak Bola Dibangun dengan Darah

Jenazah penonton bergelimpangan di tragedi di Heysel, Belgia kala pertandingan Liverpool melawan Juventus.
Jenazah penonton bergelimpangan di tragedi di Heysel, Belgia kala pertandingan Liverpool melawan Juventus.

Semalem itu, suasana depan rumah saya rame banget. Setidaknya dua kali saya terganggu teriakan serempak puluhan tetangga saya.

Sejenak saya amati celotehan mereka. Ternyata ada pertandingan sepak bola di TV. Saat yang sama saya sedang menyaksikan siaran langsung Arsenal-Tottenham di YallaTV.

Saya hidupkan TV untuk tahu klub apa yang bertanding di Liga Indonesia. Ternyata, Arema vs Persebaya. Tim tamu unggul dua gol meski laga baru berjalan 20 menit lebih (mohon dikoreksi).

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sebagai bukan penggemar Liga Indonesia, dan tak punya fanatisme terhadap salah satu klub, ya saya kembali fokus ke Arsenal-Tottenham.

Pagi ini, saat saya buka situs france24.com, yang muncul berita; At least 127 dead after riot at Indonesia football match. Saya buka situs yang lain; Aljazeera, CNN.com, dailysabah.com, theguardian.co.cuk, SCMP, berita itu ada.

Saya berkata dalam hati; "Sepak bola Indonesia mendunia." Ya, mendunia dengan darah dan tragedi, bukan prestasi.

Lalu saya teringat pada Franklin Foer. Saya acak-acak rak buku untuk menemukan kembali buku How Soccer Explains The World. Nggak ada. Saya telepon anak saya, dan dia cengengesan seraya memegang buku itu di tangannya.

Buku itu telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Menurut saya itu buku yang tak pernah dibaca penggemar sepak bola Indonesia. Maklum, penggemar sepak bola Indonesia cuma butuh informasi menang-kalah, pemain cedera, dan bla-bla-bla yang tak mencerdaskan.

Bagaimana menjelaskan Tragedi Kenjuruhan semalam itu?

Kita harus sepakat pada satu hal. Bahwa, sepak bola harus dibangun sebagai industri. Langkah pertama membangun sepak bola sebagai industri adalah dengan menanamkan fanatisme terhadap klub.

Sejak era kompetisi Perserikatan, ketika semua klub sepak bola di Indonesia menggunakan kata 'Perse' atau 'Persi', fanatisme itu sudah ada. Landasannya adalah etnis.

Bahwa, penggemar Persib adalah orang Sunda. Penggemar Persebaya itu orang Jawa Surabaya. PSM Makassar pasti orang Bugis dan Makassar, dll.

Media berperan dalam pembentukan fanatisme. Pikiran Rakyat, surat kabar orang Bandung, membentuk fanatisme orang Sunda terhadap Persib. Jawa Pos membentuk fanatisme orang Surabaya terhadap Persebaya.

Menurut Foer, fanatisme itu dibangun di kalangan masyarakat kelas bawah, remaja, dan dari permukiman kumuh. Persija menggunakan cara ini untuk membangun fanatismenya.

Buktinya, pendukung The Jak membajak mobil setiap kali klub-nya bertanding. Bonek, fans Persebaya, membajak kereta dan memalak pedagang di stasiun setiap kali klub mereka berlaga.

Fanatisme menjadi penting karena klub butuh basis pendukung. Basis pendukung secara alami terbagi dua; ultras dan non-ultras. Dalam bahasa yang lain; garis keras dan moderat.

Setelah fanatisme terbentuk, industri sepak bola akan terbangun sedemikian rupa oleh dua hal; darah dan nyawa penggemar. Sejarah industri sepak bola Inggris mungkin yang paling menyakitkan. Mulai dari Tragedi Hillsborough, ketika Liverpool-Nottingham Forest bertemu di final Piala FA 15 April 1989, sampai peristiwa lain yang mengenaskan.

Di level Eropa, Tragedi Heysel -- ketika pendukung Liverpool menembaki fans Juventus dan menciptakan kepanikan dan saling injak -- masih belum terlupakan. Di level negara, El Salvador dan Honduras berperang empat hari gara-gara sepak bola.

Sebelum Tragedi Kanjuruhan semalam, berapa kali kita menyaksikan fans Persib dan Persija terlibat bentrok di stadion dan jalan-jalan. Berapa kali Bonek berulah dan menimbulkan kerusakan.

Semua itu adalah bagian dari pembangunan industri sepak bola, atau efek buruk pembangunan industri sepak bola.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pembangunan industri sepak bola dibarengi dengan kesiapan infrakstruktur pengamanan dalam dan luar stadion?

Ternyata tidak. Itu terlihat jelas dalam Tragedi Kanjuruhan. Bagaimana mungkin polisi mengklasifikasi kegaduhan di lapangan, saat fans Arema menginvasi lapangan, sebagai 'riots' (maaf saya menggunakan kata dalam Bahasa Inggris).

Sebagai riots, polisi merasa perlu mengeluarkan gas air mata. Mungkin kita perlu mengecek prosedur pengamanan pertandingan yang dikeluarkan FIFA, apakah perlu menggunakan gas air mata di dalam ruang bernama stadion.

Menurut saya perlu investigasi menyeluruh atas kasus ini. Kalau perlu melibatkan FIFA dan AFC, agar 129 korban tewas mendapatkan keadilan, dan kita tahu siapa yang tak siap menghadapi era industri sepak bola.