Memahami Klitih Di Jogja: Tawuran dan Gampang Ngamuk
Oleh: Achmadcharriszubair, Mantan Dosen Filsafat UGM Tinggal di Kota Gede.
Masih sering kita mendengar, melihat dan membaca peristiwa anak-anak remaja bahkan dibawah umur yang melakukan aksi klithih, tawuran bahkan sampai membunuh. Tentu saja kalau sudah menghilangkan nyawa kategorinya sudah kriminal berat, bukan kenakalan lagi.
Saya jadi teringat beberapa tahun yang lalu, saya diundang sebagai pembicara dalam menanggapi fenomena "klithih" yang tidak bisa lagi dikategorikan sebagai kenakalan, tapi sudah cenderung pada "kejahatan" yang dilakukan remaja. Begitu mudah untuk marah, mengamuk, dan bahkan menyakiti, merusak, menghancurkan sampai membunuh.
Tempat dialog itu di Kantor perwakilan DPD RI di DIY yang berada di Jl Kusumanegara Yogyakarta. Para pembicara menyoroti dari sisi kontrol orang tua, sosial, pendekatan keamanan, psikologi, partisipasi masyarakat, pendidikan karakter dan tentu saja hukum dan aturan, serta punishment yang tegas. Prinsipnya pembicara menawarkan laku lahir dalam menangani masalah klithih tersebut. Termasuk tuntutan untuk mengendalikan gaya hidup umum yang cenderung hedonis, memberi sanksi tegas atas perilaku pemimpin dan orang tua yang korup dan tidak memberikan keteladanan. Termasuk menegakkan keadilan sosial yang belum optimal dilaksanakan.
Ketika tiba acara diskusi, ada seorang peserta sepuh, melontarkan pernyataan tentang realitas sebagai berikut. Menurutnya sekarang ini ada 3 hal penting dalam hidup keluarga yang telah banyak dilupakan orang.
Pertama, ketika suami isteri berhubungan intim "saresmi" kebanyakan lupa berdoa dan bersyukur atas nikmatNya. Sehingga anak anak yang dilahirkan ter"pengaruh" oleh hal itu. Kedua, banyak keluarga sekarang memberi nafkah untuk keluarga, anak dan istrinya sudah tidak memikirkan halal haramnya dan juga hak dan batilnya penghasilan. Memiliki uang banyak, tidak peduli cara mendapatkannya, lebih penting daripada uang se"cukup"nya tapi diperoleh dengan cara bersih.
Ketiga, banyak orang tua sekarang tidak lagi melakukan laku "prihatin" ketika anak-anaknya menghadapi peristiwa penting dalam proses hidupnya. Ia mencontohkan di masa kecilnya, kalau anak mau ujian, mau sunat, bahkan sekedar memperingati weton kelahiran anak, orang tua terutama ibu menjalankan puasa disertai doa untuk keberhasilan dan kebahagiaan anak.
Saya tercengang mendengar pernyataannya. Diam diam sebenarnya saya sepakat dengan pendapat itu. Walaupun tentu saja sebagai laku batin, pendapat semacam itu agak sulit diterima oleh nalar masyarakat kekinian yang positivistik dan pragmatik.
Tentu saja akan sulit juga bila harus dinarasikan dalam bentuk norma, peraturan hukum positif serta tata tertib yang berlaku.
Saya kemudian mengenang teman teman yang kini sukses, menjadi profesor, pejabat dan pengusaha yang berhasil. Kebanyakan bukan dari keluarga kaya, tapi saya tahu ada teman kecil saya, yang kini menjadi gurubesar, ibunya selalu menyertainya dengan puasa ketika teman itu menghadapi ujian sekolah.
Bagaimana pendapat para intelektual, akademisi, cendekiawan, ulama, agamawan, budayawan menanggapi pernyataan yang muncul dalam diskusi tentang klithih yang saya ikuti tersebut? Mohon tanggapan. Terimakasih.