Budaya

Peyorasi Jilbab Hingga Pembuktian Popy Rufaidah: Kapan Islamphobia akan Berakhir?

Popy Rufadiah. (ilustrasi)
Popy Rufadiah. (ilustrasi)

Jilbab hari ini adalah pakaian yang tertuduh. Di Indonesia bahkan dunia masih identik dengan tampilan pakaian sosok radikal, tidak toleran, sadis, garang, dan calon teroris. Kasus yang terakhir adalah ketika ada berita penangkapan seorang perempuan yang mengenakan jilbab menerobos pagar Istana Negara di Jakarta. Dia berhasil dicegah polisi masuk ke Istana oleh petugas polisi lalu lintas yang tengah berjaga di kawasan itu. Entah mengapa video penangkapan itu segera viral di media sosial sesaat ditangkap. Dan ini semakin heboh karena di tayangan itu pelaku juga membawa sepucuk pistol.

Kasus yang lain, misalnya belakangan sempat berkembang kembali isu pelarangan jilbab di sekolah negeri bagi para siswi sekolah. Bila dilihat dari jejak sejarahnya, pihak penyebar isu tampak ingin mengulang pelarangan jilbab di sekolah pada zaman orde baru itu dengan alasan nasionalisme dan toleransi. Ini semakin kuat muncul setelah merebaknya kasus dugaan pemaksaan pelarangan jilbab di sebuah sekolah di Sumatra Barat kepada siswi non Muslim. Walaupun isu tersebut tak benar, tapi menteri pendidikan pun sudah sempat bersikap.

Alhasil dalam hal ini terlihat memang ada pihak yang terus merasa sensitif ketika ada seorang Muslimah mengenakan jilbab. Ini jelas terlihat ketika ada seorang elit yang membacakan puisi bertema konde dan kebaya di sebuah acara fashion show, Dia menyatakan stetmen yang isinya menyimpulkan bahwa konde dan kebaya lebih indah dari pakaian Muslimah berilbab. Tak hanya itu dia mengatakan temang lebih merdu dari suara adzan. Tak hanya itu, ada seorang profesor teknik yang mengaku kerap menjadi tiim seleksi bea siswa mahasiswa ke luar negeri mengatakan, jilbab identik pakaian Arab yang melambangkan pengekangan dan keterbelakangan peradaban.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kenyataan ini memang ganjil. Ini karena di agama non Muslim pun dikenal pakaian tertutup yang mirip dengan jilbab yang lazim dikenakan kaum agamawan perempuannya. Mereka melayani umatnya dan ke mana-mana pergi dengan pakaian panjang dan berpenutup kepala.

Bahkan, kalau anda pergi ke Timur Tengah, Lebanon dan Mesir, pasti sering kecelik ketika menemukan orang berjilbab panjang (kalau di Indonesia disebut dengan jilbab syar'i) warna hitam sebagai Muslimah. Apalagi di sana --di Lebanon-- jilbab panjang warna hitam identik dengan perempuan Muslim Syiah. Padahal perempuan yang berjilbab ala syar'i itu sama sekali bukan Muslimah.

Peyorasi terhadap jilbab terus berlanjut. DI Barat --Eropa dan Amerika -- masih banyak terdengar kabar bila di jalanan umum seorang Muslimah diolok serta dipaksa sekelompok orang untuk menanggalkan jilbabnya. Sama dengan Indonesia, mereka risih melihat jilbab di tempat umum. Mereka tidak menoleransi jilbab atas nama kebebasan. Namun, di pihak lian mereka tak pernah keberatan dengan fashion pakaian seperti 'tank top' hingga berbagai baju 'model pendek dan terbuka' lainnya. Pada sisi ini mereka menerapkan istilah yang disebut 'toleransi represif', yakni hanya toleran kepada idenya saja, namun tidak pada ide pihak lain. Alasan para penganut ide ini sama yakni takut ancaman kebebasan, tertib sosial, dan perdamaian.

Sikap peyorasi terhadap jilbab juga terlihat terjadi pada beberapa persitiwa mutakhir yang mendunia. Presiden Turki Recip Erdogan sempat menantang agar Turki dilakukan referendum saja soal jilbab. Erdogan tampaknya kesal isu jilbab terus dijadikan mainan politik dan dijadikan alat pemecah persatuan negaranya.

Pada kasus jilbab di Iran usaha peyorasi terhadap jilbab juga terjadi mana kala ada seorang remaja perempuan mengenakan jilbab meninggal akibat ulah oknum polisi karena melakukan razia terhadap perempuan yang tidak mengenakan jibab (penutup kepala/hijab). Padahal aturan negeri Imam Khomeini itu menyatakan bila mengenakan jilbab bagi perempuan Iran sewaktu ke luar rumah itu adalah wajib.

Akibat peristiwa ini selama berhari-hari media-media barat menyebarluaskan peristiwa di Iran. Apalagi setelah muncul demorntrasi soal ini, media televisi CNN hingga BBC menayangkannya terus menerus, siang hingga malam. Tapi pemerintah Iran cuek saja karena paham itu phobia kepada Islam yang tengah ditancapkan di benak publik oleh media. Apalagi malah kemudian muncul tandingan demonstrasi mendukung jilbab yang dilakukan dalam skala yang lebih besar di Iran. Lucunya, berita ini ditayangkan media barat dengan sekilas saja.

Namun, tuduhan bahwa jilbab pakaian kuno, terbelakang, dan fashion yang melambangkan kekerasan ternyata hanya isapan jempol. Dahulu ketika ramai ada seorang guru besar menyebut pakaian ini simbol keterbelakangan, para pendukung jilbab membalasnya dengan mengunggah gambar dan berita seorang Muslimah muda Indonesia yang mengenakan jilbab menjadi salah satu ahli dalam proyek prestisius NASA. Muslimah ini menjadi salah satu orang yang ikut merancang pembuatan hunian baru di planet Mars.

Kenyataan tersebut sekaligus membantah pernyataan bahwa untuk apa jilbab dipikiran serius, sebab warga negara lain sudah memikirkan kondisi angkasa luar. Nah, sekarang kenyataannya, ada seseorang berjilbab yang malah ikut berada dalam proyek pembuatan rumah di planet Mars yang itu jelas berada di angkasa luar.

Pada kasus paling mutakhir adalah fenomena Muslimah berjilbab yang meraih penghargaan dari institusi bergengsi, yakni America-Eurasia Center. Lembaga ini adalah salah satu organisasi think tank tertua bereputasi di Washington DC, Amerika Serikat. Penghargaan tersebut berupa anugerah Star of Excellence Award kepada seorang diplomat di Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) KBRI Washington periode Desember 2018 – September 2022, yakni Popy Rufaidah.

Menyambut penganugerahan ini, Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat, Rosan Perkasa Roeslani, mengatakan Popy adalah memang seorang atase pendidikan dan kebudayaan (Atdikbud) yang aktif serta diikenal kiprahnya di kalangan diplomat dan Kementerian luar negeri AS pada bidang pendidikan dan kebudayaan serta institusi terkait lainnya.

Adanya penganugerahan kepada Popy ini jelas membuat pihak yang 'sensitif' dan terus melakukan peyorasi kepada jilbab semakin 'baper'. Ini karena Popy mengenakan jilbab.

Akhirnya, entah sampai kapan phobia terhadap jilbab dan itu juga berati phobia terhadap segala hal yang berbau Islam berakhir? Di Amerika yang bukan mayoritas warganya bergama Islam sikap ini kini mulai mulai hilang. tapi di Indonesia yang justru menjadi negara mayoritas Muslim, malah menguat...?

Apakah ini semacam tanda-tanda bahwa pemilu sudah semakin dekat..?