Sejarah

Melihat Soekarno Dengan Utuh: Jangan Lupakan Sejarah Peristiwa 10 November

BrigJen Mallaby memegang bendera putih dan Residen Sudirman duduk di muka mobil keliling kota Surabaya menjelang pecahnya Pertempuran 10 November 1945.
BrigJen Mallaby memegang bendera putih dan Residen Sudirman duduk di muka mobil keliling kota Surabaya menjelang pecahnya Pertempuran 10 November 1945.

Suatu kali di pantri Republika, seorang kawan yang mengagumi Sukarno menuding-nuding saya dengan kata-kata kasar setelah saya bercerita tentang Pertempuran Surabaya yang dihentikan.

Tahun lalu, seorang rekan sekolah mengamuk-ngamuk di grup WA—seraya menuduh saya pengkhianat—karena mengutarakan hal serupa. Saya diam saja. Ya, senyum-senyum sajalah.

Setelah Jepang menyerah, sekutu mendarat di Jakarta dan Surabaya pada November 1945. Di Jakarta, pasukan sekutu disambut sukacita rakyat. Anton DH Nugrahanto, dalam Rahasia di Balik Perang Surabaya, menulis Sukarno ketakutan ditangkap sekutu dengan tuduhan kolaborator Jepang.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Soekarno sebagai Romusha dengan nomor lengan 970 di Bogor.Sukarno layak takut dan tuduhan kolaborator bukan isapan jempol. Ia, seperti ditulis Harry A Poeze dan menjadi judul tulisan Darmawan Sepriyosa di Republika.co.id, mengenai Sukarno bekerja sama dengan Jepang mengirimkan romusha ke Burma. Sukarno pun romusha bernomor lengan 970.

Di Surabaya, sekutu mendarat dan membebaskan tentara Belanda dari kamp interniran. Terjadi euphoria kebebasan. Orang Belanda yang sedang mempersiapkan pesta menaikkan bendera merah-putih-biru pada malam hari.

Keesokan hari, insiden perobekan bendera Belanda terjadi. Setelah itu, terjadi pertempuran kecil-kecilan. Rakyat Surabaya menyerang pos-pos militer, yang membuat Inggris kelabakan.

Oktober 1945, Inggris mengirim Jenderal Hawthorne untuk meminta Sukarno memerintahkan pasukan di Surabaya menghentikan perang. Sukarno dan Hatta datang ke Surabaya dan mengatakan, “Musuh kita bukan sekutu. Mereka datang untuk membebaskan tawanan perang.”

Sesuai usul Van Mook, Inggris mengirim Mayjen Mallaby—perwira belakang meja—ke Surabaya. Namun, pangkat Mallaby harus turun menjadi brigjen karena memimpin Brigade 49.

Mallaby tidak keberatan. Alasannya, pasukan yang dipimpin adalah sepatukan terlatih dan berpengalaman. Brigade 49 mengalahkan Jepang di Burma.

Setelah gencatan senjata ditandatangani, Mallaby memerintahkan pasukannya menarik diri. Mengira Surabaya aman, malam hari ia mencari restoran di sekitar kawasan Jembatan Merah. Senapan menyalak, sebutir peluru menerpa dadanya, lalu granat tangan menerobos masuk ke dalam mobil dan meledak. Mallaby tewas dan terpanggang.