Agama

Peristiwa 10 November di Surabaya, Jihad, dan Takbir

Bung Tomo dan berpidato menjelang pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Bung Tomo dan berpidato menjelang pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Belakangan ini publik Indonesia, bahkan dunia terus fobia terhadap kalimat atau seruan jihad. Apalagi, beberapa waktu lalu, viral di media sosial seruan adzan yang menerikkan: Khaya'alal Jihad.

Soal ini kemudian juga telah tanggapi oleh cendikiawan dan budayawan, Emha Ainun Nadjib. Dalam tayangan video yang tersebar di Youtube, Emha di antaranya menyatakan bila telah ada sebagian kaum Muslim yang sudah tidak tahan atas terjadinya penindasan terhadap Kaum Muslim. Ini terjadi dengan hancurnya negara-negara di Timur Tengah, misalnya, Libya dan Irak oleh kekuatan global. Ajaran Islam sampai kini terus disalah pahami oleh kelompok dunia yang menguasi dunia dan dahulu menjajahnya.

Pada sisi lain, misalnya, pada soal ketaatan kepada protokol kesehatan, sebenarnya juga termasuk jihad. Dalam sebuah perbincangan melalui WA, cendikiawan Azyumardi Azra pun mengatakan, memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak juga sebuah jihad.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

''Jihad itu artinya bersungguh-sungguh. Jadi, menaati protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19 juga bisa disebut jihad,'' kaya Azyumardi Azra.

Namun, memang dalam kaca mata barat sebagai sisa dari kolonialisme, kata 'jihad' memang begitu menakutkan. Kata inilah yang dipakai pejuang Muslim untuk melawan ketidakadilan kolonial. Maka, jihad bagi mereka--seperti juga dikatakan Emha Ainun Nadjib--identik dengan 'breng' (perang dalam bahasa Jawa).

Dan bila merunut ke belakang, kata 'jihad' misalnya muncul secara tegas dalam kancah Perang Jawa yang terjadi selama lima tahun pada 1825-1830.

Dalam perang yang dipimpin Raden Mas Mutahar atau Pangeran Diponegoro ini, seruan 'jihad' dalam makna memerangi kolonial memang tak sekadar punya penyebab tunggal. Atau, misalnya, semata merupakan luapan rasa kejengkelan kepada penjajah semata.

Dalam seruan jihad saat itu, indikasi penyebabnya bermacam-macam alias tidak tunggal. Ada yang bersifat internal Keraton Mataram Islam di Yogyakarta, misalnya, persaingan politik antarpangeran.

Pada sisi lain jihad yang bermakna perang melawan kolonial kala itu juga terjadi akibat penderitaan hidup dan persoalan ekonomi yang ada di Hindia Belanda setelah bubarnya VOC. Ada juga soal goncangnya tata kehidupan lama dunia atau persoalan internasional akibat munculnya Revolusi Industri dan Revolusi Prancis.

Bahkan, selain itu, penyebabnya juga ada persoalan perubahan iklim dunia dengan meluasnya wabah kolera akibat gunung meletus Tambora di Sumbawa yang mahadahsyat tersebut.

Persoalan lainnya juga terjadinya kesenjangan sosial di mana jurang kaya miskin di masyarakat sudah begitu lebar. Ibarat sebuah sumbu petasan, semua yang awalnya menyala, kemudian mencapai puncak ledakan kala menjadi soal agama. Saat itu, berubah menjadi perang atau tindak kekerasan.

Dalam agama Islam pun saat itu terjadi perubahan. Ide tentang persatuan Islam mulai masuk. Kalangan pelajar dan ulama di pusat-pusat pengajaran Islam, misalnya, di Makkah dan Mesir, sudah merasakan betapa umat Islam kala itu hidup miskin dan terhina di bawah cengkeraman kaum kolonialis.

Salah satu ekpresinya adalah terjadi peribahan dalam kelompok tarikat. Aliran keagaam yang semua kerap disebut 'jumud' dan hanya mementingkan sikap eksoteris pribadi ini tiba-tiba berubah. Kala itu, ada tarekat baru dari kaum suni (nasqabandiyah), yakni berupa tarekat, Satariyah.

Nama tarekat tersebut mengambil 'nisbat' dari sosok pendirinya Abdullah asy-Syattar. Awalnya, tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania dengan nama Isyqiyah. Tarikat inilah yang mengorbankan perlawanan di dunia Islam yang terbentang dari Afrika bagian utara hingga Asia Tenggara.

Dan jejak para pengikut tarekat ini sampai ke Jawa atau Nusantara. Ini misalnya tampak dari sosok pangeran asal Yogyakarta yang menjadi pendiri tua di dekat Madiun yang tak jauh dari Gunung Lawu, yaitu Pesantren Takeran. Di masa kini dari pesantren lahir sosok penting, seperti Ketua MPR tahun 1980-an, Jenderal M Kharis Suhud dan bos Jawa Pos sekaligus mantan menteri era Presiden SBY, Dahlan Iskan.

Select an Image

Keterangan foto: Suasana Pesantren Takeran. yang didirkan seorang pangeran dari Jogjakarta yang ikut menjadi panglima perang dalam Perang Jawa.

Maka, berkat aliran Satariyah ini, tarekat tidak lagi hanya bersifat eksetoris atau melihat ke dalam sisi pribadi manusia saja seperti lazimnya, tapi sudah berubah menjadi sebuah gerakan sosial berupa perlawanan terhadap penindasan kolonial di Jawa dan Nusantara.

Maka, tak ayal lagi, saat itu seruan jihad melawan kolonial waktu itu semakin ramai diperbicangkan. Apalagi, jauh-jauh hari sebelunya, yakni sekitar 1780 M, ada surat dari Syekh Abdul Shamad Al Palembani yang menjadi imam di Masjidil Haram sempat bersurat kepada para raja Jawa, seperti Paku Buwono IV untuk melakukan jihad (perang suci) terhadap Belanda.

Seruan jihad itu disalin dan kemudian banyak di tempel di berbagai masjid yang kala itu bertepatan dengan menjelang tibanya bulan Ramadhan.

Situasi ini makin klop dengan latar belakang Diponeoro yang didik secara santri oleh neneknya yang berasal dari Madura dan merupakan cucu seorang ulama. Bahkan konon, neneknya itulah yang memberikan teladan dan pembelajaran kepada Diponegoro untuk hidup secara aksetis sebagai seorang Muslim.

Ini semakin masuk akal karena eyangnya, yakni Sultan Hamengku Buwono I selaku pendiri Keraton Yogyakarta adalah seorang Muslim. Bahkan, dia adalah anak pesantren. Tempat belajarnya adalah salah satu Pondok Pesantren tua yang ada di Ponorogo. Ini makin kental karena dia juga keturunan 'duriat Rasulullah' atau lebih dikenal sebagai keturunan Arab dari keluarga Basyaiban.

Peneliti Diponegoro asal Inggris Pater Carey dalam banyak perbincangan kerap mengatakan jauh-jauh hari di masa kecilnya, sang eyang yakni Sultan Hamengku Buwono I pun sudah meramal bila cucunya kelak akan menjadi orang yang berani atau jagoan di dalam melawan Belanda.

Dalam banyak kesempatan ketika menimang bayi cucunya yakni Raden Antawirya alias Raden Mas Abdul Hamid (di kala dewasa dan memimpin perang Jawa kemudian memakai nama Pangeran Diponegoro), hal itu sering dia ucapkan. Bakat alamnya berupa pukulan tangan yang keras membuat eyangnya yakin bila dewasa sang cucu ini akan menjadi orang yang 'jadug' atau jagoan pemberani.

Jadi, kata dan makna jihad bukanlah perang semata, tapi sebuah sikap bahwa ada dari sebuah tindakan yang harus dilakukan 'secara bersungguh-sungguh' dengan segenap jiwa raga.

Maka, jangan salah; makan, minum, bermain, hingga menulis pun bisa dimaknai sebagai jihad!