Mengejar Taliban Hingga ke Lahore
Udara pagi Lahore masih terasa jekut suam-suam kuku. Musim semi baru menapaki ujung. Tapi warga sudah mulai sibuk lalu-lalang. Di jalanan keledai yang menarik pedati hingga bemo dan sepeda motor sudah mulai berebut jalan.
“Kita mesti ke masjid merah. Nanti setelah siang baru ke Taman Shalimar,’’ kata temanku Hasif, sembari duduk minum teh di beranda hotel ‘Kubilai Khan’. Dia ku kenal saat di Jogja. Dia asalnya dari Lamongan dan kini menjadi staf kedubes Indonesia di sana.
‘’Apa lebih baik kita cari taliban saja?’’ kataku meledeknya. Mendengar itu dia pun tertawa terlepas. Lalu dia menukas pendek.’’Di sini semua anak kecil itu Taliban. Kalau di Jawa itu sama saja dengan santri. Taliban itu artinya pelajar tak beda dengan santri. Kalau kota ke masjid itu akan lihat buktinya,’’ tegas Hasif.
Aku pun tersenyum saja melihat emosi dari Hasif yang datar ketika mendengar kata Taliban disebut. Beda dengan banyak orang yang selalu gelisah ketika disebut kata Taliban, Hasif malah cuek saja. Dia malah sibuk berkelakar.
‘Ayolah kita pergi ke masjid merah atau Badsahi itu. Kereeeen. Nanti di tengah jalan aku tunjukin di mana dahulu apartemen yang menjadi tempat hunian Hambali ketika belajar di sini,’’ kata dengan nada ringan.