Mitos Jawa, Gempa Bumi Hingga Wabah: Apakah Akan Datang Ratu Adil?
Dalam mitos yang dianut orang Jawa, terutama di masa lalu, segala bencana yang terjadi itu akan berpengaruh dalam berbagai hal, dari bersiifat pribadi hingga elit kekuasaan. Masyarkat Jawa punya mitos hadrinya masa Kaliyuga (masa ketidakpastian/huru hara) yang itu menandai akan hadirnya seorang yang disebut sebagai Ratu Adil. Kala itu, seperti dalam suluk dalang, keadaan masyarakat dan lingkungannya amburadul, gunuing meletus, banjir, kelapanan, wabah, air sunga mengalir ke hulu, dan lain sebagainya. Semua erasa tak wajar, zaman terbolak-balik, zaman edan.
Kepercayaan ini mengendap begitu lama. Sebelum perang Diponegoro misalnya masyarakat Jawa sudah menandai keanehan/anomali suasana waktu itu. Wabah diare menyebar, konflik sudah mulai meletup di tingkat elit kekuasaan, dan gunung api meletus. Yang paling dahsyat adalah ketika gunung Tambora. Setelah itu persis beberapa tahun terakhir sebelum Perang Jawa, gunung Meraoi pun meletus.
Tak hanya soal bencana, orang Jawa pun punya percaya akan mitos tanda-tanda alam. Misalnya menjelang meletusnya G30S PKI yang kala itu didahului oleh munculnya di langit maam, yakni lintang kemukus (bintang berekor) yang dalam dunia moderen disebut komet Haley. Kemudian terjadi fenomena bulan berkalung cahaya melingkar keputihan sebelum terjadi huru-hara lengsernya Pak Harto dari kekuasaan. Yang terakhir misalnya ada yang mengkaitkan terjadinya gerhana bulan 'berdarah' yang mengikuti dan ditafsirkan menjadi penanda sebelum munculnya bencana gema bumi dahsyat di CIanjur.
Slamet Muljana dalam Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya misalnya sudah menyebut berbagai tafsir orang Jawa setiap terjadinya peristiwa alam. Misalnya gempa bumi yang terjadi sebelum kelahiran Raja Hayam Wuruk, maharaja keempat Kerajaan Majapahit. Gempa bumi yang ada dipercaya sebagai isyarat akan keluhuran sang bayi tersebut.
“Sebagai isyarat kebesaran itu terlaksana setelah baginda dewasa dan memegang tampuk kepemimpinan. Kerajaan aman dan tenteram, bebas dari kejahatan,” kutip Slamet Mulyana mengaciu ada Negarakretagama. Bahkan, kalimat 'memanah surya' di Negarakretagama diterjemahkan dengan gempa bumi dari sebuah kekuasaan yang tengah berubah surut.
Slamet menerjemahkan kalimat tahun saka memanah surya sebagai petunjuk atau dikaitkan dengan tahun terjadinya gema bumi di Majapahit, yakni pada tahun 1256 Saka. Serat Pararaton pun memberitakan, setelah itu muncul peristiwa berdarah Sadeng, yang juga tepat terjadi gempa bumi di Banu Pindah pada tahun 1265 Saka.
Tak hanya itu, perpecahan dan kisruh Majapahjit dengan munculnya peristiwa perlawanan Sadeng (perlawanan Sadeng melawan Kerajaan Majapahit( sebagai pembalasan atau kematian Nambi), juga ditandai dengan terjadinya gempa bumi..
Pertanyaannya apakah akan selalu terkait begitu setiap kali ada peristiwa alam? Jawabnya, jelas sudah tidak bisa dipercaya karena cendurut 'anut gathuk' saja. Sebab bencana alam tak selalu identik dengan kabar buruk di masa depan.
Contohnya adalah ketika terjadi tsunami yang dahyat di Aceh, yang memakan korban hingga 250 ribi tewas. Di kemudian hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyonno (SBY) juga tak terjadi hal-hal yang buruk, Bahkan SBY mampu berkuasa selama 10 tahun.
Bila hanya mengacu pada primbon juga tak tepat. Contohnya adalah pada patokan mengenai keadaan alam yang ada di buku itu, misalnya soal 'Pranata Mangsa' (siklus iklim). Kenyataan sekarang apa yang dahulu dianggap baku, ternyata sudah sangat berubah. Alam sudah berubah. Soal kapan datangya musim kemaru dan penghujan sudah tak jelas lagi. Musim sudah tak jelas lagi karena terjadinya perubahan iklim yang masif.
Masihkan percaya mitos bencana sebagai kabar buruk masa depan?