Budaya

Petani Padi: Impian Anak Ayam Sebelum Mati Di Lumbung

Bercocok tanam di pedesaan Jawa. (Republika.co.id)
Bercocok tanam di pedesaan Jawa. (Republika.co.id)

Hari-hari ini gencar kampanye petani muda. Mereka targetnya mengembalikan generasi muda agar mau menjadi petani. Kenyataan ini masuk akal sebab kebanyakan petani yang kini bekerja di sawah usianya semakin renta. Anak-anak muda lebih tertarik menjadi kaum urban di kota meski hanya kerja sebagai karyawan pabrik yang tinggal di pemukiman sempit dan dengan fasilitas hidup minim. Jauh dari kenyamanan.

Kampanye petani muda memang begitu gencar. Kenyataan ini seakan-akan menghilangkan kenyataaan, terutama di daerah lumbung padi di Jawa, yang lahan kian sempat. Saat ini makin nyata bila di Jawa begitu banyak petani yang tak punya lahan atau sebagai buruh tani.

Maka bila mendengar di kota-kota industri yang selama ini menjadi incaran kaum urban, seperti kota yang banyak lokasi pabrik, terdengar begitu banyak orang yang terkena PHK, sangat tidak terbayangkan betapa susahnya hidup mereka. Mau kerja di kota kesempatan bekerja langka (paling hanya jadi tukang ojek on line), mau balik ke kampung mereka tak lagi punya lahan sawah. Untuk kerja sebagai buruh tani pekerjaan sudah semakin langka karena sudah penuh sesak dengan tenaga kerja.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Maka jangan heran, apa bila di musim tanam ini, pernintaan bekerja di sawah tiba-tiba melimpah. Mendadak beberapa orang baru muncul meminta pekerjaan di sawah. Ini makin membingungkan karena selama ini sebuah lahan sawah cukup dikerjakan satu orang, maka kini dikerjakan sampai tiga orang.

Melihat kenyataan ini, pemilik lahan iba kepada mereka yang datang dengan tiba-tiba untuk meminta pekerjaan tersebut. Akhirnya, pemilik lahan memberikan pekerjaan itu karena tahu mereka memang butuh pekerjaan untuk sekedar makan. Apalagi yang datang itu saudara dan kemenakan mereka sendiri yang selama ini pergi menjadi kaum urban ke kota.

Namun, bagi pemilik lahan, hadirnya petani muda limpahan kota itu punya banyak masalah. Paling tidak yang terasa nyata adalah beban biaya penggarapan lahan sawah menjadi melonjak. Ongkos tenaga kerja di pedesaan kini naik drastis. Dan ini akan membuat mereka semakin tekor karena nantinya hasil panen dan biaya produksi tak menutupi. Alias rugi.

Situasi itu tak heran bila ada pemilik lahan berkata seperti ini."Apa saya lebih baik tidak garap lahan sawah ya? Sebab, ongkos mengerjakan sawah dengan hasilnya tak menguntungkan lagi. Bahkan tekor. Harga beras selalu diharuskan murah, sementara fasilitas dari pemerintah berupa subsidi pupuk dan obat-batan pertanian hampir tak berguna. Himbauan petani muda hanya slogan, jauh dari kenyataan di lapangan. Lagi pula, untuk apa jadi petani muda sebab mereka tak punya lahan. Ini kan mengawang-awang saja. Kalau mau menarik kaum muda, pemerintah berikan berbagai insentif dan kebijakan ke desa agar anak muda tertarik menjadi petan!"

Jujur saja, kalau melihat kenyataan keseharian petani lahan sawah, sangat miris keadannya, Hari ini misalnya, harga beras lumayan tinggi, tapi mereka sudah tak punya lagi beras.Akibatnya, banyak yang memutuskan pergi ke kota meski hidup dengan cara 'setengah menggelandang'. Itu semua dilakukan demi untuk makan. Impian hidup sejahtera dan adil makmur hanya sekedar jadi impian.

Petani padi kini benar-benar hanya sekedar anak ayam yang terancam mati di lumbung...!