Budaya

Wahai Generasi Milenial, Janganlah Jadi Petani Padi Kalau Tak Ingin Miskin...!

Menanam padi di sawsah. Foto: Republika.co.id
Menanam padi di sawsah. Foto: Republika.co.id

Kabar akan segera dilakukan impor beras memang membuat petani semakin perih. Mereka pasti merasa beban hidup apalagi yang akan mereka tanggung. Pada saat sekarang, di kala mereka mulai tanam padi, persedian gabah sudah tak punya. Sedangkan nanti panen, ketika mereka mempunyainya, harga gabah anjlok. Terbayang sudah, biaya ongkos produksi padi di sawah tak menutupi hasilnya.

Menyadari dan melihat hitung-hitungan ini, masuk akal bila generasi muda petani, tak mau lagi jadi petani. Himbauan agar nmenjadi petani muda, hanya seperti lagu lama yang terasa sumbang alias tak merdu lagi. Generasi masa kini, generas Z, terutama para anak buruh tani memilih pergi ke kota, meski hanya jadi buruh pabrik sepatu dan tukan ojek on line. Di kota penghasilan lebih pasti dan sedikit ada.

Sedangkan bagi petani yang masih punya lahan lebih baik tak mengurusi sawah lagi. Ini karena selalu tekor. Mereka memang masih bersedia menggarap sawah karena demi melanjutkan hidup saudara-saudaranya dan tetangganya yang tak lagu bertanah saja. Jargonnya, hitung-hitung sodakoh: Tuna satak, bathi sanak (Rugi uang, namun untung mendapat saudara). Yang penting mangan ora mangan kumpul !.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Mungkin, adanya impor beras menguntungkan bagi orang kota. Tapi rencana itu kabar buruk bagi para petani beras. Harga beras memang akan murah. Tapi harga kebutuhan lain, non beras melonjak. Nilai tukar petani pasti akan semakin bermasalah. Dengan kata yang sederhana, kerumitan itu makin menjelaskan bahwa menjadi petani beras sudah tak menarik lagi, Hanya orang yang nekad ingin 'harakiri' dengan menjadi hidup sengsara dan miskin di desa yang mau menjalaninya.

Jadi adanya kabar dari Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi, bahwa kebijakan impor beras menjadi pilihan terakhir untuk mengamankan beras hingga musim panen di awal tahun depan, bukan lagu merdu. Meski memang kebijakan impor juga diputuskan bersama melalui rapat koordinasi terbatas demi mengamankan kebutuhan nasional, namun ini bagi petani beras tetap menjadi puting beliung.

Mengacu pada pernyataan Arief di Republika.co. id yang menyampaikan bahwa produksi beras periode November-Desember berdasakan data Kerangka Sampel Area, Badan Pusat Statistik,mencapai sekitar 3 juta ton, tentu menjadi tanda tanya. Apalagi menyatakan kebutuhan dalam dua bulan itu diperhitungkan mencapai 5,06 juta ton sehingga terdapat defisit sekitar 2 juta ton.

Jadi produksi beras akan tekor 2 juta ton? Lalu ke manakah dan apa kabarnya klaim dari penguasa yang menyatakan bahwa Indonesia kini swasembada beras? Tak hanya itu apa artinya pernghargaan dari FAO yang kemarin diberikan itu kepada Indonesia? Apa itu main-main atau prank saja?

Akhirnya, generasi milenial sudahlah jangan ingin, apalagi bermimpi, menjadi petani beras? Lebih baik kamu jadi pegawai pabrik buruh sepatu saja di kota. Biar jasamu mentereng di kancah dunia karena produkmu berada di kaki para bintang sepakbola seperti Lionel Mesi. Menjadi petani itu hanya membuat kulit menghitam kusam tak 'glowing' seperti bintang sinetron Korea.

Sudahlah hapus mimpi jadi petani beras itu..!