Tantangan Jokowi: Pemilu Berintegritas, Atau Gagalkan Pemilu?

Politik  

Dua Tantangan Jokowi

Keinginan Jokowi untuk membuat pemilu berintegritas, khususnya jurdil dan bebas politik uang, merupakan tantangan terbesar bangsa ini. Tantangan kedua adalah ketulusan Jokowi untuk melepas pilihan presiden ke depan pada kehendak rakyat. Tantangan pertama di atas terkait dengan politik kita yang memang dicengkeram oligarki, baik modal maupun partai. Bahkan feodalisme politik. Sudah lama kita ingin kembali kepada politik yang berbasis nilai (value) untuk menghasilkan elit bangsa yang bebas dari kepentingan apapun selain "national and nation interest". Sayangnya, biaya politik yang sangat besar serta penuh transaksional membuat calon-calon dengan kekuatan gagasan/ide tersingkir sejak awal. Bahkan, lebih parah lagi, terjadi dominasi pemilik modal dalam berbagai jenjang politik, baik di parlemen, partai mauoun maupun pemerintahan.

Jika Jokowi ingin kata-katanya tentang pemilu berintegritas terjadi, maka sumbangan terbesar yang bisa dilakukan Jokowi adalah memastikan aparatur keamanan netral dalam pemilu. Ini pernah dilakukan SBY ketika tidak memberikan dukungan terhadap besannya, Hatta Rajasa, sebagai kandidat Cawapres 2014. Kontribusi lainnya bisa dilakukan Jokowi jika dalam Perppu UU Pemilu nantinya, selain masalah adanya dapil baru yang harus diakomodasi, juga mempertimbangkan penurunan PT (Presidential Threshold) 20%. Sebab, sebagai mana membaca pikiran Mahfud MD ketika menanggapi Rizal Ramli, beberapa waktu lalu, mengatakan sebaiknya PT dikurangi di bawah 10%. PT yang terlalu tinggi akan membuat tokoh-tokoh nasional terhambat untuk maju sebagai kandidat presiden ke depan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Tantangan terkait ketulusan Jokowi harus benar-benar ada. Argumen-argumen perpanjangan masa jabatan maupun presiden 3 periode tidaklah kuat sama sekali. Megawati juga merasakan tidak penuh periodenya, 5 tahun, sebagai presiden dahulu. SBY juga setahun lebih sibuk hanya mengurus bencana Aceh dan perundingan Helsinki. Namun, SBY tidak mengeluh. Ketulusan lainnya terkait dengan dukungan presiden berikutnya. Jika memang perlu adu gagasan dalam bayangan Jokowi untuk pesta demokrasi yang baik, maka harus dipastikan calon yang ada bukan yang homogen loyalis Jokowi, seperti Ganjar dan Prabowo serta cawapres yang disiapkannya. Justru adu gagasan akan terjadi dalam kondisi capres yang bahkan berbeda visi. Jokowi mungkin menginginkan "legacy", seperti meneruskan IKN (Ibukota Negara), tapi SBY juga dulu mengharapkan MP3EI, program andalan SBY, ditindaklanjuti. Namun, faktanya Jokowi tidak menindaklanjuti program SBY. Jadi sangat wajar dalam demokrasi seorang pemimpin baru mempunyai perbedaan dengan pemimpin sebelumnya. Yang terpenting adalah gagasan itu legal, diuji publik dan bertujuan pada kebangkitan nasional, baik ekonomi, politik dan kesejahteraan rakyat.

Jika Jokowi tidak mampu menghadapi dua tantangan di atas, setidaknya Jokowi patuh pada konstitusi dengan mengikhlaskan diri bahwa setiap kekuasan ada akhirnya. Lepaskan calon pemimpin ke depan pada kompetisi sempurna, tidak perlu intervensi dengan beri isyarat "rambut putih" atau "wajah keriput " untuk didukung ke depan.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image