Sejarah

Kutukan Bisnis Perbudakan dan Keturunan Prajurit Diponegoro Beban Adu Penalti Belanda-Argentina

Tim Belanda menangis dan tertunduk setelah dikalahkan Argetina.
Tim Belanda menangis dan tertunduk setelah dikalahkan Argetina.

Mengapa Belanda selalu gagal dalam final Piala Dunia? Jawabnya, terutama bagi yang paham sejarah itu karena doa sekaligus kutukan karena Belanda mulai dari abad ke 16 hingga pasca Perang Dunia II melakukan praktik kehinaan dengan melakukan berbagai kekejaman dan bisnis perbudakan.

.Fakta-fakta itu sudah menjadi pengetahuan dunia. Belanda ternyata selama kurun hingga ratsan tahun itu melakukan praktik kekejaman yang tak terperikan. Menghisap darah dan kekayaan warga di wilayah lain.

Semua tahu, pusat bisnis perbudakan dunia itu berada di Amsterdam. Belanda menangkapi penduduk di koloninya, seperti di Afrika dan tentu saja Indonesia. Mereka dibawa dari tempat asalnya, lalu para agen mereka membawa dengan kapal untuk dijual orang itu keberbagi belahan dunia. Kalau di Indonesia, praktik ini dilakukan dengan membawa penduduk dari Jawa ke Suriname untuk mengerjakan perkebunan. Dari jalan-jalan mereka tangkapi penduduk miskin atau sedang terkena masalah tentu untuk dibawa ke sana.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Tak hanya dilakukan di Afrika, praktik ini juga dilakukan di Hindia Belanda. Penduduk Jawa juga dijadikan budak untuk dibawa ke kawasan perkebunan Deli di Sumatra bagian timur. Mereka dijadikan 'kuli kontrak'. Para tenaga kerja ini dibayar sangat murah laksana ternak dan mendapat pembayaran hanya untuk hidup. Bahkan, mereka sengaja dimiskinkan dengan berbagai cara, misalnya menggelar pasar malam di setiap akhir pekan saat gajian atau membiarkan praktik prostitusi.

Akibatnya, para kuli kontrak itu pun akhirnya tak bisa menabung dan tak punya apa-apa. Ketika mereka pulang kampung kembali Jawa, mereka mengalami hidup yang nista dan papa. Kenyataan ini penulis lihat sendiri ketika sia-sia para kuli kontrak di Deli yang tersisa, pada awal dekade 1980-an.

''Nenak di Delli 'Sumantra' tak punya apa-apa.'' kata seorang perempuan tua mantan kuli konrak Delli.''Saya kabur dari rumah ke Delli karena ada iming-iming mendapat kerjaan dengan bayaran besar. Ternyata tak terbukti, Saya pergi tanpa sepengetahuan orang tua,'' katanya lagi.

Kutukan atas praktik bisnis perbudakan itulah yang terus membayangi tim Belanda. Bagi Indnesia mereka jelas belum meminta maaf dengan mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Rakyat Indonesia pasti ingat itu karena ini berarti Belanda tidak pernah mau mengakui kesalahan maha berat atas perilakuknya. Mereka juga tak mau bayar kompensasi apa pun. Bahkan malah meminta kompensasi untuk mengakui keddaulatan melalui perjanjian KMB di den Haag pada akhir tahun 1949. Pernyataan resmi dari Kerajaan Belanda atas segala soal ini sampai hari ini pun tak ada. Pemerintah Belanda tetap bungkam.

Memang kabarnya ada perminaan maaf atas soal perbudakan ini pada 19 Desmeber 2022 besok. Tapi apakah ini cukup. Para keturunan Diponegoro yang tahu makam leluhurnya yang terserak di sepanjang kawasan pantai selatan Jawa, masih ingat akan kekejaman tentara Belanda kepada para eyangnya itu. Mereka tidak pernah melupakan, meski mereka tak pernah mau minta kompnesasi atau pembayaran. Mereka yakin bila leluhurnya yang meninggal itu hingga kini masih hidup karena menjalankan jihad pada kebatilan.

Maka, jangan heran, bila Belanda kalah di dalam ada penalti mereka bersorak senang. Tak ada kebanggaan apa pun terhadap tim Belanda.

Kutukan para leluhur prajurit Diponegoro di Perang Jawa hingga jeritan sumpah serapah para budak yang diperjualbelikan Belanda ke berbagai penjuru dunia kini terdengar keras menyalak dari alam kubur. Tak peduli ada pemain sehebat Johan Cruff, mereka dan para keturunannya tak pernah respek. Tak bangga. Ini Sangat wajar, bahkan harus, mereka memang ingin tim sepakbola Belanda memang tak pernah juara dunia sepakbola.