Protes Melalui Mimpi Dhemit Gajahan di Surakarta Pada Awal Sarekat Islam
Kraton Surakarta, terutama keraton Kasunan, ternyata menjadi salah satu penghela utama munculnya Sarikat Islam. Ini tampak pada dukungan penuh dari Raja Pakubuwono X beserta putra Mahkotanya atas gerakan ini. Raja Jawa yang kala itu sangat kaya dan tercatat sebagai salah satu orang pertama di Indonesia yang punya mobil ini (saat itu disebut 'dhemit' karena kereta tanpa kuda) begitu total mendukung gerakan ini.
Tentu saja adanya Sarikat Islam menimbulkan kegelisahan sosial sebagai ditulis dalam buku karya DR Kuntowijoyo: Raja, Priyayi, dan Kawula. Dalam buku yang terbit pada tahun 2006 tersebut Kuntowijoyo dengan jeli memotret kegelisahan masyarakat bawah di awal abad ke-20 itu. Salah satunya adalah fenomena mistis yang timbul di kalangan masyarakat Surakarta mengenai munculnya kisah ‘Dhemit Gajahan’.
Kala itu seorang warga Laweyan Bernama Bratan dalam mimpinya mengakui didatangi ‘dhemit’ Gajahan (Gajahan adalah nama kampung di sebelah barat alun-alun selatan kraton yang dahulunya merupakan gajah raja dikandangkan. Di situ juga dahulu tempat badak dikandangkan.
Kuntowijoyo menyatakan tidak tahu persis fenomena itu muncul dalam khazanah perpustaan Jawa. Sejarah jin, sejarah setan, sejarah siluman di kalangan masyarakat awam, hanya merupakan ‘kidungan’. Hanya sedikit tentang buku tentang jin dan ini pun banyak dihapal serta masih terbit hingga sekarang. Meskipun belum mempunyai bukti bila masyarakat di kampung itu yang berada di sekitar kawasan Laweyan juga mengenal buku tersebut. Kidungan nama ‘dhemit Gajahan’ justru tidak disebut sama sekali.
Dalam kidungan Gajahan, nama-nama jin yang tinggal di kota Surakarta dan disekitar kraton dicantumkan. Rupanya jin-jin itu dianggap sebagai penunggu tempat-tempat yang disebut, sebagaimana halnya dhanyangyang dianggap sebagai penunggu tempat-tempat yang disebut sebagai pendeta dan makhluk bangsa siluman.
Dalam buku tersebut yang mengaku bersumber dari Syaikh Tapelwaja yang disebut sebagai pendeta dari makhluk bangsa siluman itu juga mencantumkan nama Pangeran Natapraja, pujangga Keraton Mataram. Kiai Rangga Sutrasna dan Raden Ngabehi Ranggawarsita, pujangga terakhir kraton Surakarta.
Daftar dhanyang itu termuat dalam bahasa Danghjang Pada Surakarta yang berasal dari Kiai Rangga Sutrasna. Ada nama seperti Bajangklewer di Gladak, Jin Putih untuk masjid besar, Kiai Lotis untuk Jeksan, Klentung untuk Mangkubumen, Jungkil untuk Pahitan, dan seterusnya.
Jin Gajahan tidak termasuk dalam daftar jin terhormat dalam buku itu, cuma belum mengetahui apakah ada upacara-upacara khusus untuk memberi penghargaan kepada para jin itu dalam kota itu, seperti dilakukan raja pada Kiai Sapujagad penunggu Gunung-Merapi yang mendapat penghargaan upacara Labuhan.
Satu-satunya penjelasan yang paling mungkin ialah dhemit Gajahan memang masuk dalam alam bawah sadar warga di Bratan, namun justru dhemit’ ini sama sekali tidak terkenal, atau bahkan tidak dikenal. Dengan kata lain, ia adalah yang dhemit pinggiran atau dhemit sembarangan yang terdapat dalam imijanisai orang-orang kecil, seperti yang disebut dalam mimpi itu.
Warga itu berharap bahwa dhemit tak dikenal itulah yang memberinya pengharapan atas perubahan nasib dan pembelaan dirinya sebagai orang kecil. Selain itu bila dikaji lagi fenomena dhmeit Gajahan ini di kalangan masyarakat bawah itu merupakan protes atas beban sewa tanah yang terasa memberatkannya.