Budaya

Kisah Shakespeare Tentang Raja Lear Yang Berakhir Tragis Karena Disanjung Penuh Puja-Puji

Drama gladi resik
Drama gladi resik "King Lear" di Stadsschouwburg pada pada 11 Dsember 1948. Foto: Gahetna. Nl.

Oleh: Jaya Supraja, Budayawan dan Aktivis Pendiri Sanggar Pembelajaraan Kemanusian.

Raja Lear merupakan mahakarya William Shakespeare terinspirasi oleh legenda Raja Leir yang menurut Geoffrey Of Monmouth adalah putra mahkota Raja Bald11 Desember 1948rud yang memiliki tiga putri tanpa memiliki putra seorang. Putri bungsu King Lear bernama Cordelia.

Di antara para tokoh perempuan di dalam mahakarya Shakespeare, memang Cordelia tidak sepopuler Julia atau Ophelia. Namun sebenarnya karakter Cordelia di dalam tragedi King Lear justru memegang perang penting untuk disimak.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Berdasar khayalan Shakespeare, alkisah Raja Lear di usia lanjut ingin membagi kerajaannya menjadi tiga bagian untuk dibagi ke tiga putrinya, Goneril, Regan, dan Cordelia. Sebelum membagi, Raja Lear bertanya ke masing-masing tiga putrinya mengenai seberapa besar mereka mencintai ayahnya.

Goneril dan Regan cukup munafik untuk menyenangkan ayahnya dengan pernyataan bahwa mereka berdua menyayangi Raja Lear tanpa batas dan tanpa syarat secara tak terhingga. Cordelia jujur menyatakan bahwa apabila nanti menikah, maka akan berbagi kasih-sayang kepada ayahnya dengan kepada suaminya.

Mendengar kejujuran putri bungsunya itu Raja Lear murka maka mengusir Cordelia ke Perancis, sementara kerajaan Inggris dibagi dua untuk dibagikan kepada Goneril dan Regan.

Namun dalam perjalanan kisah khayalan Shakespeare kemudian terbukti Gorneril dan Reagan setelah memperoleh kekuasaan tega menyengsarakan ayah kandungnya sendiri. Dari Perancis, di mana Cordelia menikah dengan Raja Perancis berang melihat ayahnya disengsarakan oleh kedua saudaranya, maka Cordelia membawa tentara Perancis untuk menyelamatkan dan mengembalikan Raja Lear ke tahta kerajaan. Sayang Cordelia dikhianati oleh orang dalam istana Inggris sehingga terbunuh.

Raja Lear merangkul jenazah Cordelia sambil menyesali keputusan dirinya mengusir Cordelia karena keliru menganggap Cordelia tidak mencintai dirinya.

Berbagai pihak termasuk saya kurang menyukai versi Shakespeare tentang riwayat Cordelia sebagai putri paling setia kepada ayahnya justru berakhir secara tragis.

Ada kesejajaran ironi antara Cordelia dengan Sukrasana di mana keduanya justru binasa akibat kesetiaan yang Cordelia berikan kepada King Lear dan Sukrasana berikan kepada Sumantri.

Pada kisah legenda Raja Leir versi Geoffrey, padahal Cordelia berhasil menyelamatkan ayahnya kemudian tinggal bersama King Lear sebagai raja Inggris setelah menaklukkan para pengkhianat terhadap kerajaan Inggris. Terkesan Shakespeare tidak bisa mengampuni Cordelia yang sempat bersekongkol dengan Perancis sebagai musuh bebuyutan Inggris seperti halnya rakyat Inggris tidak bisa mengampuni Mary Stuart yang juga sebagai umat Katolik sempat bersekutu dengan Perancis demi merebut tahta Inggris untuk dirinya sendiri agar putra Mary Stuart,

James dapat melanjutkan dinasti Stuart di Inggris. Akibat terjebak di dalam gelora semangat patriotisme maka Shakespeare memilih untuk membinasakan Cordelia ketimbang mengabadikan Cordelia sebagai tokoh kesuriteladanan kesetiaan kepada ayahnya. Sehingga Cordelia di dalam kisah King Lear versi Shakespeare tidak tercatat di lembaran sastra sebagai pembela kebenaran seperti Wibisana di dalam kisah Ramayana versi Walmiki.

Shakespeare mempolitisasi Cornelia sehingga batal menjadi pelajaran bagi para penguasa untuk tidak terbuai puja puji gombal sanjungan manis yang keluar dari mulut para penjilat penguasa yang akhirnya seperti Sengkuni malah menjerumuskan penguasa ke jurang kehancuran.

Cordelia versi Shakespeare juga merupakan pengingatan kita semua bahwa apa yang disebut sebagai kebenaran langsung menjadi nisbi apabila dipolitisasi. Memang penguasa bisa sedemikian berkuasa mutlak sehingga berkuasa menentukan siapa benar siapa salah tanpa peduli kebenaran yang sebenarnya benar-benar benar.