Ridwan Saidi Bantah Teori Sejarawan Asing Lance Castle: Betawi Bukan Keturunan Budak!

Sejarah  

Teori Lance Castle

Lance Castle memulai teorinya dengan kedatangan VOC dan pendirian Kota Batavia 1619. Saat itu, Batavia — dan wilayah sekitarnya — adalah daerah jarang penduduk dan diapit dua kesultanan; Banten dan Cirebon.

Atas dasar alasan keamanan, VOC mendorong penduduk dari pedalaman — yang mereka sebut sebagai orang Jawa, dan tanpa memperhatikan asal-usulnya — menetap di dalam dan sekitar kota.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Dekade berikut, Jan Pieterzoon Coen memulai kebijakan mendorong orang Tionghoa, selain juga orang-orang Banda, menetap di Baavia. Mereka adalah penduduk bebas.

Penduduk bebas lainnya adalah orang-orang Koja, atau Muslim dari India selatan, Melayu, Bali, Bugis, dan Ambon. Namun, populasi mereka tetap sedikit.

Ketika VOC berdagang budak, terjadi ketidak-seimbangan penduduk. Jumlah budak jauh lebih tinggi dibanding penduduk bebas.

Semula Belanda membawa budak dari Coromandel, Malabar, Bengal, dan Arakan di Burma. Belakangan, VOC menjadikan Nusantara sebagai sumber utama penyediaan budak untuk Batavia.

Mengalirlah budak-budak dari Flores, Timor, Nias, Kalimantan, Sumba, Sumbawa, sampai ke Pampanga — wilayah di Pulau Luzon (Filipina). Namun, jumlah budak terbesar berasal dari Bali dan Sulawesi SEaltan.

Dalam dua dekade terakhir abad ke-18, setiap tahun 4.000 budak datang ke Batavia dan dijajakan. Pada masa Raffles, angka kelahiran di kalangan budak menyusut.

Fakta ini menjelaskan mengapa beberapa kelompok masyarakat menghilang dengan cepat ketika imigran baru datang. Kehilangan ini mungkin bisa dijelaskan dengan teori percampuran ras dan budaya.

Pada akhir abad ke-19, kelompok etnis yang beragam di Batavia kehilangan identitasnya. Sebagai gantinya, muncul masyarakat baru yang menyebut diri orang Batavia, atau Betawi.

Mengutip pernyataan Raffles, sebagian besar budak yang datang tahun 1915 berasal dari Bali dan Sulawesi Selatan, dan tidak ada yang berasal dari suku Jawa. Mereka menyebar di tanah-tanah partikelir Ommelanden sebagai bruh tani.

Semula, Bahasa Creole — campuran Bahasa Portugis-Melayu yang digunakan Mardjiker, atau kaum merdeka — menjadi lingua franca di Batavia. Setiap instruksi dari atas kepada wijkmaster menggunakan bahasa ini.

Belakangan, akibat kebijakan Hindia-Belanda, Bahasa Creole lenyap dan — menurut HN van der Tuuk — digantikan dengan cepat oleh ‘Omong Jakarta’ atau Melayu-Betawi. Van der Tuuk percaya Bahasa Bali tingkat rendah merupakan dasar dialek Betawi, yang bercampur dengan Jawa, Sunda, Arab, Tionghoa, dan Belanda.

Pada periode selanjutnya, budak-budak — serta mereka yang dibebaskan dari status budak — adalah Muslim. Mereka yang berasal dari Bali juga terserap ke dalam masyarakat besar, karena tidak mungkin mempertahankan tradisi dan agama asal-usul.

Laporan tahun 1799 masih menjelaskan soal pekerjaan, pakaian, dan karakteristik orang-orang Melayu, Jawa, Bali, Mardijker, Bugis, dan Makasar. Seperempat abad kemudian, CSM van Hogendorp, hanya menyebut orang Makasar, Bali dan India.

Pada pertengahan abad ke-19, Van der Aa mencatat meski ada berbagai kelompok populasi, namun telah kehilangan sebagian besar karakter asli nenek moyangnya.

Tahun 1923, Betawi menjadi komunitas etnis politik ketika Mohammad Hoesni Thamrin mendirikan Kaoem Betawi sebagai organisasi kesukuan, seperti Pasundan, Serikat Ambon, dan lainnya.

Lance Castle menyusun teorinya berdasarkan cita rasa kolonial, lengkap dengan catatan-catatan tentang populasi etnis di Batavia. Setelah itu dia mengambil kesimpulan bahwa orang Betawi berasal dari budak, dan mayoritas adalah budak Bali.

Kelemahan teori Castle adalah mengesampingkan fakta sejarah bahwa setelah VOC memaksa Kesultanan Banten menandatangani perjanjian damai, prajurit Banten bertahan di kawasan barat Ommelanden, membentuk kampung, dan beranak pinak.

Namun, Castle bukan satu-satunya orang yang membangun teori Betawi berasal dari budak. Lainnya adalah Jean Gelman Taylor, Susan Blackburn — dulu bernama Susan Abeyasekere.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image