Politik

Catatan Fachry Ali Soal Pergantian Platform Republika dari Cetak ke Digital

Pengamat sosial keagamaan, Fachry Ali, mengatakan mencermati sepak terjang Republika sejak awal terbitnya hingga 30 tahun sesudahnya, yakni ketika media ini pindah dari platform cetak ke digital. Menurutnya, memang banyak pihak terutama di kalangan umat Islam terkejut, namun itu juga dipahami sebagai sebuah kenyataan zaman akan datangnya era baru dalam media yang mulai muncul sejak tahun 1990-an.

Fachry Ali.
Fachry Ali.

Fachry dalam perbicangan melalui wattaps, Rabu pagi (4/1/2023) menegaskan bila dikaj dari segi point of view, memang ada sebuah hal khusus yang menarik. Yakni, tampilan Reoublika sebagai media yang sebenarnya tanpa ideologi politik. Ini berbeda dengan media masa Islam sebelumnya, seperti media massa era 1950-1960-an. Salah satunya adalah berbeda ekspresinya dengan harian Abadi yang milik sebuah partai politik Islam, yakni Masyumi.

''ini berbeda dengan Harian Abadi. Kehadiran Republika merupakan usaha merayakan keterlepasan, atau lebih tepat, ‘kemerdekaan’ berartikulasi ‘Islam Kota’ dari beban ideologis masa lalu. Jika dilihat secara lebih dramatis, Republika adalah realisasi slogan Nurcholish Madjid pada pertengahan 1960-an: ‘Islam Yes, Partai Islam No,'' kata Fachry Ali.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Atas situasi tersebut, maka Republika mempunyai sifat sebagau media non ideologis. Ini karena Republika berdiri di tengah sebuah keadaan atas terjadinya perubahan sosial umat Islam Indonesia yang tengah bertransformasi menjadi apa yang disebut sebagai Islam kota.

''Kehadiran Republika pada sisi lain merupakan semacam berkah pembangunan ekonomi umat Islam di masa Orde Baru. Situasi ini terjadi selama dua dekade terakhir periode itu. Umat Islam melalui Republika tercermin telah dan sedang mengalami mobilitas sosial yang masif, baik itu dalam profesi, pendidikan, dan status,'' ujar Fachry.

Fachri lebih lanjut menyatakan, bila dibandingkan dengan harian Abadi, kehadiran Republika pada saat itu memang secara teoritis lebih diuntungkan. Kenyataan itu berbeda dengan masa periode kekuasaan sebelum Orde Baru, daiwali pada dekade 1970-an kaum Muslim terdidik (kaum santri) tumbuh membesar. Mengutip Nurcholsih Madjid, muai saat itu dan juga sebagai imbas datangnya kemerdekaan, pendidikan di kalangan umat Islam semakin baik., Kaum terdidik Muslim terlihat di mana-mana. Umat Islam tidak lagi hanya tamatan sekolah dasar, tapi jenjang pendidikannya naik mulai menjadi tamat SMP, SMA, Sarjana, bahkan mulai dekade 1980-an banyak sekali menjadi doktor.

''Pada saat ituah kelas Muslim terdidik menjadi sangat besar. Konsekuensinya secara teoritis memunculkan dan memerlukan bahan bacaan yang bermutu, melainkan juga menghadirkan banyak penulis dalam jumlah memedai. Umat Islam tidak mengalami kekurangan pemikir lagi,'' katanya.

Akibat kenyataan itu, Fachri mengatakan, pada saat yang sama juga menghadirkan 'pasar potensial' yang luas bagi pembaca Republika. Pada sisi lain kehadiran Republika berkembangnya sumber daya umat Islam secara signifikan. Melalui survei pada tahun 1990-an misalnya pembaca Republika adalah kelas menengah Islam yang berpendidikan baik dan familiar dengan komputer.

''Namun pada kenyataannya memang kemudian ada kendala, misalnya yang terjadi pada saat ini, yakni perubahan platform dari media cetak ke media digital. Jawabnya, selain memang sebuah keniscayaan zaman, pada sisi lain tranformasi kelas menengah perkotaan menciptaan dilema bagi mediia Republika itu sendiri. Sebagai kelompok masyarkat yang berada dalam kelas menengah secara pendidikan dan ekonomi, mereka jelas membutuhkan tulisan yang lebih selektif dari sumber dari dalam dan luar negeri. Pada saat berbagai media terbitan uar negeri juga telah membanjiri Indonesia. Siapapun yang melek pada 1980-an, tak akan melupakan kehadiran Far Eastern Economic Review, The Asial Wall Street Journal —di samping Times dan Newsweek, serta Financial Times dan The Economist. Maka alternatif bacaan yang bermutu juga hadir secara bersamaan,'' tegasnya lagi.

Sisi penting lainnya, menurut Fachry, perkembangan pesat dari pertumbuhan kelas menengan Muslim di Indonesia yang mulai terjadi semenjak tahun 1970-an, ternyata belum maksimal hanya sebatas sebagai kekuatan sosial budaya. Mereka belum berhasil sepenuhnya bisa masuk ke dalam perkembangan kelas kapitalis. Ini disebabkan kroni-kroni rezim Orde Baru dilakoni secara eklusif bukan oleh aktor-aktor Muslim, yakni berada pada aktor-aktor warga Tionghoa. Akibat yang paling jelas industri media Republika tidak mendapat dukungan finansial yang signifikan karena masyarakat Muslim Indonesia belum berada pada keompok bisnis yang memang bisa memberi dukungan melalui 'kue' iklan.

''Jadi secara sederhana, kendatipun kehadiran Republika tegak pada pertumbuhan kelas menengah kota yang kian meluas, suratkabar ini tak mempunyai basis material-finansial (berupa dukungan iklan). Kelompok eklusis yang kroni Orde Baru itu tak terlalu ‘akrab’ dengan media-media ‘Islam’, kaum kapitalis ini cenderung mempercayakan iklan-iklan perusahaan mereka kepada media-media massa lain. Hampanya basis material inilah yang secara struktural berkaitan dengan absennya Republika dalam bentuk cetak,'' tandas Fachry Ali.