Mengenang Kisah Perpecahan KH Ali Yafie dan Manuver Zig-zag Gus Dur
Ulama berpengaruh asal Donggala, KH Ali Yafie yang wafat semalam sekitar puluk 23.13 WIB, adalah tokoh Nahdlatul Ulama. Ia dilahirkan di Donggala, Sulawesi Tengah pada 1 September 1926.Ali Yafie tercatat sebagai pengasuh Pondok Pesantren Darud Da'wah wal Irsyad, Parepare, Sulawesi Selatan yang didiirikan pada 1947. Ali sempat menjabat sebagai wakil Rais Aam PBNU pada Muktamar Krapyak 1989. Ia mendampingi Rais Aam PBNU KH Achmad Shiddiq.
Siapa pun tahu, Ali Yafie adalah seorang pakar fiqh yang sangat mumpuni. Sebagai tokoh NU yang non Jawa dia punya karakter yang lebih lugas dan berterus terang. Ali Yafie kala itu berhikmat secara tajdzim di Nahdlatul Ulama yang pada masa itu berada pada kurun akhir periode Orde Baru. Jamiah ini dituntut harus bisa selamat dari cengkeraman Orde Baru yang kata itu sedang kuat-kuatnya. Apalagi pada waktu itu Presiden Soeharto sudah lebih ‘Islami’ dari pada periode sebelumnya. Ini seperti mulai merestuai didirkannya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) seiring dengan menguatnya kelas menengah terdidik Muslim Indonesia yang disebut mendiang DR Nurcholish Masjid umat Islam sudah kebanjiran doktor.’’Umat Islam bukan lagi pendidikannya hanya tamatan kelas menenengah seperti di era 1970, namun kini sudah doktor.”
Pada titik inilah terjadi perbedaan pendapat atau cara menghadapi pemerintah Orde Baru. Bila Gus Dur memilih frontal, KH Ali Yafie memilih jalur yang lebih soft (lunak). Ini misalnya terkait dengan persoalan lotre yang menyebar luas secara nasional yang dilakukan pemerintah kala itu untuk menarik dana masyarakat untuk kegiatan olahraga. Lotre nasional ini disebut dengan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB).
Waktu itu, SDSB merangsek ke masyarakat sampai ke pelosok-pelosok tanah air. Kios SDSB tumbuh seperti jamur di kampung-kampung. Banyak sekali oang tergila-gila dengan sumbangan yang dilakukan dengan membeli kupon dengan cara memilih nomor seperi dalam judi yang dikenal dengan Togel (toto gelap). Orang-orang ramai membelinya karena akan mendapat hasil balik melalui hadiah berlipat-lipat, Bahkan, saking keantusiasan itu direkam dengan baik oleh Rhoma Irama misalnya menuliskan dua lagu yang kala itu menjadi hits. yakni lagu Judi dan Sumbangan.
Kata Oma,” Berkat SDSB perjudian merajalela, perpecaham keluarga muncul, perdukunan merajalela, yang kaya jadi miskin, dan lainnya.” Sedangkan pada lagu sumbangan mengkritik kerasnya dengan istilah sederhana: ’’Menyumbang seribu, tapi berharap sejuta, apakah itu menyumbang?.” Di kalangan publik pun sudah muncul demonstrasi secara terus menerus diberbagai wilayah penjuru tanah air yang menuntut menghapus SDSB karena perbuatan haram yang dilegalkan dan merusak kehidupan rakyat.
Adanya kontroversi ini ternyata juga menghampiri kalangan ulama. KH Ali Yafie menyatakan SDSB adalah haram. Gus Dur bersikap sebaliknya, paling tidak agak sedikit abu-abu. Gus Dur berkilah pemerintah atau sebagai pelaksana kebijakan negara itu ibarat bumi yang menampung semua hal baik yang kotor mapun bersih. Jadi karena judi lakukan atas kebijakan negara atau pemerintah, maka itu kemudian menjadi halal hukumnya. Pada sisi lain hal ini juga sama ketika menisbatkan hukum dari bunga bank yang tak bisa lagi disebut riba yang haram karena dilakukan oleh negara. Hal yang lain juga saat itu terjadi berkembang adalah soal status hukum dari sebuah bumbu masak (penyedab rasa) yang enzimnya difermentasikan dengan lemak babi.
Khusus untuk Ali Yafie, hingga hari ini yang masih teringat sampai sekarang adalah soal perdebatannya dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada soal status SDSB. Uniknya, Gus Dur saat itu menjadi pendukung sikap Orde Baru yakni boleh saja membeli SDSB karena bukan haram, Ali Yafie menolaknya dengan berkeras itu tetap saja ‘haram’.
Perbedaan sikap inilah yang saat itu menjadi salah satu indikasi pengunduran diri Ali Yafie dari kepengurusan PB NU. Uniknya lagi, setelah kasus ini Gus Dur yang sempat menjadi pendukung sikap pemerintahan Orde Baru, pada masa berikutnya menjadi penentang berbagai kebijakan lain kala itu. Gus Dur kemudian ‘zig zag’ menjadi pengkritik Orde Baru karena mendirikan ICMI. Di situlah dia membut kontranya yakni mendirikan Forum Demokrasi bersama beberapa tokoh lain.
Kisah perbedaan pendapat antara Gus Dur dan KH Ali Yafie yang wafat semalam itulah yang pada masa generasi sekarang mungkin terlupakan. Ingat, belajarlah pada sejarah, sebab sejarah yang terjadi hari ini hanya pengulangan saja dari sejarah sebelumnya. Hanya formatnya dan aktornya saja yang berbeda!
Allahumaghfirlahu warhamhu untuk KH Ali Yafie.