Omah Ropingen dan Kotagede: Kisah Tumbuhnya Muhammadiyah, Para Tokoh BPUPKI, Hingga PKI

Sejarah  
Pintu gerbang rumah Ropingen di Kampung Pandeyan, Kota Gede, Yogyakarta. Di rumah joglo milik keluarga H Rofi.
Pintu gerbang rumah Ropingen di Kampung Pandeyan, Kota Gede, Yogyakarta. Di rumah joglo milik keluarga H Rofi.

Bagi siapa saja yang belajar sejarah pasti tahu bila masa laku itu kerapkali serba paradoks. Tidak ada yang lurus atau hitam putih. Kadang abu-abu bahkan kadang ekstrim bertabrakan.

Kenyataan ini salah satu terjadinya pada kisah dari mantan dosen filsafat UGM sekaligus warga asli Kotagede, Yogyakarta, Achmad Charris Zubair. Dia bercerita mengenai sebuah rumah tua yang disebut Omah Ropingen yang tak jauh dari kediamanya. Kisah rumah ini sangat menarik karena terkait dengan eksistensi Muhammadiyah, para anggta BPUPKI yang menjadi pendiri bangsa Indonesia, hingga kiprah awal dalam pendirian Partai Komunis Indonesia.

Berikut tulisan Achmad Charris Zubair:

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Bagi yang mengenal secara dekat Tan Malaka dan atau Aidit, tahu bahwa keduanya berasal dari keluarga Muslim yang taat. Bahkan DN Aidit yang sempat memimpin PKI partai dengan stigma atheispun, ada yang menyaksikan masih melakukan sholat lima waktu. Di masa remajanya, Aidit yang berasal dari keluarga Muhammadiyah adalah muadzin yang merdu di Masjid kampungnya Belitong.

Di Kotagede, bekas ibukota Kerajaan Jawa Islam Mataram, terdapat rumah yang menyimpan catatan sejarah, yang menjadi titik awal, hiruk pikuk konflik ideologis, bahkan titik awal konflik berdarah dan menyisakan kepedihan bagi yang terlibat.

Kotagede yang dalam perang Diponegoro amat dihormati oleh tentara Belanda dan pasukan Diponegoro, untuk tidak berperang diwilayah ini. Kemudian didasawarsa kedua abad ke-20, kota ini menjadi jantung Gerakan Islam modern, kota terkaya di Jawa Tengah bagian selatan saat itu. Justru menjadi tempat pertama Semaun dkk, mengadakan rapat Syarikat Islam Merah yang menjadi embrio Partai Komunis Indonesia.

Dirumah Ropingen ini pernah menjadi tempat rapat yang kelak menjadi embriyo lahirnya PKI. PKI pada masa awal adalah gabungan ideologis antara gagasan Henk Sneevliet dengan sosialisme Islam yang diemban Syarikat Dagang Islam.

Sebelum lahir Muhammadiyah, para saudagar Kotagede seperti H Muhsin, H Masyhudi mendirikan Syarikatul Mubtadi dan juga Mardi Hartoko yang disamping menjadi wahana terjalinnya jaringan dengan Syarikat Dagang Islam juga menjadi titik penting berdirinya Muhammadiyah di Kotagede.

Bahkan H Muhsin dikenal sebagai donor pertama bagi hoofdbestuur Moehammadijah kala itu (Dalam Ensiklopedia Muhammadiyah yang baru terbit tertulis juga H Mukri). Bahkan kedua istri Muhsin adalah kerabat KH Dahlan dari Kauman. Dahlanpun sebelum mendirikan Muhammadiyah adalah anggota Boedi Oetomo bahkan sampai akhir hayatnya. Surat al Ma'un yang sering dibaca ulang dalam pengajian Dahlan yang mendorong amal usaha, menunjukkan betapa sosialisnya ideologi Moehammadijah.

Jaringan Boedi Oetomo, Syarikat Dagang Islam, kemudian Syarikat Islam, Moehammadijah dengan organisasi lokal seperti Syarikatul Mubtadi dan Mardi Hartoko tidak hanya melahirkan jaringan formal tetapi juga jaringan persahabatan. Para Tokoh mulai seperti Samanhudi, Dahlan, Wahidin, Cokroaminoto bersama parantokoh lokal tentu bersahabat pula dengan Semaoen, Darsono dan juga Moeso dan kawan-kawab. Diijinkanlah para sahabat itu untuk berapat di jantung para sudagar kaya dan santri ini. Untuk merancang perlawanan terhadap penjajah. Juga dengan pertimbangan Kotagede merupakan wilayah yang aman tidak digrebek tentara Belanda, karena dihormati kedua kraton, dan Belanda punya kepentingan ekonomi atas wilayah ini. Jadilah embrio PKI ditanam di Kotagede.

Paradoksalitas ini juga bisa menjelaskan mengapa dari keluarga abangan seperti Atmosudigdo dan Bahoewinangoen, lahir Rasyidi dan Kasmat yang sangat Masyumi. Dari keluarga Kalang lahir Nurriyah Shobron yang gigih membangun pesantren. Mengapa Abdul Kahar Mudzakkir dari Kotagede dan Ki Bagus Hadikusumo dari Kauman bisa ikhlas menerima perubahan 7 kata dalam Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa menggantikan Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya.

Saya kira untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan keIndonesiaan, kita bisa belajar dari paradoksalitas, penghormatan atas perbedaan dan persahabatan, juga kearifan para orang tua kita.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image