Agama

Tragedi Diponegoro Pada Hari Kedua Lebaran Tahun 1830

Lukisan penangkapan Diponegoro karya Raden Saleh Syarif Bustaman.
Lukisan penangkapan Diponegoro karya Raden Saleh Syarif Bustaman.

Lebaran memang hari istimewa. Tapi tidak bagi Pengeran Diponegoro. Ini karena pada pada hari kedua bulan syawal, justru Pangeran Diponegoro tertangtangkap melalui jebakan perundingan yang digagas jendral De Kock. Padahal maksud Diponegoro datang ke rumah residen Belanda di Magelang kala itu untuk sekedar silaruhami. Bukan berunding apalagi menyerahkan diri.

Sebelum itu, pasukan Diponegoro pun sudah mendekati dareah sekitar Magelang. Secara beranhsur-angus pasukannya bergerak dari arah pantai selatan. Bahkan, menjelang Ramadhan sudah tercapai kesepakatan gencatan senjata selama bulan puasa tersebut. Maka pasukannya kemudian membuat pesanggrahan di pinggir Kali Opak dan Progo yang tak jauh dari perbatasan Magelang. Diponegoro sendiri berada di sekitar pegunungan Menoreh yang letaknya diantara tempat-tempat tersebut.

Namun berbeda dengan Diponegoro yang benar-benar memanfaatkan gencatan senjata di bulan Ramadhan untuk beribadah, pihak pimpinan tentara Belanda semenjak awal sudah mempersiapkan skenario lain, yakni penangkapan. Letnan Jenderal Hendrik Markus de Kock mislanya telah mengatur jebakan dan strategi penangkapan detail dengan pasukan yang lengkap. Termasuk kereta dan perlengkapan lainnya yang akan membawa Diponegoro secata estafet dari Magelang melalui Semarang lalu dinaikan kapal ke Batavia. Bahkan skenario pilihan pengasingannya ke Sulawesi pun sudah dipersiapkan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Berbeda dengan Belanda, Pangeran Diponegoro ketika datang ke rumah residen Belanda di Magelang it hanya membawa orang kepercayaan dan pengikut ala kadarnya. Ini karena niatnya bukan untuk berperang melainkan bersilaturahmi syawal. Dia ternyata tidak menyangka akan dijebak. Dan tentara kolonial pun tahu pekerjaan menjebak Diponegoro bukan hal mudah. Ini karena bila sang pangeran melewati medan gerilyanya, pasti jumlah pasukannya malah terus bertambah, bukan menjadi berkurang.

Belanda sendiri pun mengakui bahwa perang ini harus segera diselesaikan. Alasannya, selain biaya perang yang sudah berlangsung lima tahun ini membuat bangkrut kas pemerintah Belanda, korban di pihaknya juga sangat besar. Maka penangkapan melalui jebakan silaturahmi pada 2 Syawal itu sangat penting dan harus berhasil.

Situasi ini terlihat jelas pada lukisan Pineman yang dibuatnya untuk dipersembahkan kepada Jendral De Kock: Lukisan Penyerahan Pangeran Diponegoro. Lukisan yang melihat peristiwa itu dari angke sebelah kiri. Di sana kemudian erlihat Belanda begitu jumawa dan bangga atas aksi culasnya yang mengkhianati perjanjian. Wajah Diponegoro ditampilan dengan kepala merunduk dengan ekpresi kelu dan sedih. Sementa itu bendera Belanda –merah, putih, biru—terlihat gagah berkibaran.

Lukisan penangkapan Diponegoro versi Pineman.
Lukisan penangkapan Diponegoro versi Pineman.

Penggambaran penangkapan yang tragis dalam lukisan itu, kemudian pada 1855 dibuat lukisan anti tesanya. Kali ini pelukis yang juga menantu Pangeran Diponegoro. Raden Saleh Syarif Bustaman, membual lukisan yang menggambarkan keperirwiraannya. Pangeran digambarkan keyika ditangkap dengan sikap tubuh yang bersemangat. Wajahnya mendongak ke depan penuh keyakinan.

Sedangkan, para komandan Belanda kala itu digambarkan sangat karikatural sebagai raksasa kecil tapi berkepala besar. Tak ada kesan kesedihan pada wajah Diponegoro dalam penangkapan tersebut. Cuma digambarkan para pasukkannya yang sebelum masuk ke tempat perundingan sudah dilucuti senjatanya terlihat tertunduk sedih. Seorang perempuan berkebaya, yakni isteri Pangeran Diponegoro, dalam lukisan itu terlihat menangis.

Itulah peristiwa tragis pada hari kedua lebaran (2 Syawal) di akhir perang Diponegoro pada tahun 1830.