Sejarah

Bung Hatta Tak Bisa Mudik? Ini Kisah Putrinya Gemala Hatta

Bung Hatta menyambut kedatangan pejuang Siliwangi di stasiun Tugu  Yogyakarta yang berhijrah dari Jawa Barat ke Yogyakarta pada tahun 1948.
Bung Hatta menyambut kedatangan pejuang Siliwangi di stasiun Tugu Yogyakarta yang berhijrah dari Jawa Barat ke Yogyakarta pada tahun 1948.

Mudik itu warisan budaya bangsa saat merayakan lebaran. Para perantau pulang kembali ke kampung halaman, melakukan silaturahmi dan bersungkem ria dengan orang tua dan sanak keluarga. Kampung saat lebaran sontak penuh warna. Hiruk-pikuk penuh dengan suasana bahagia.

Tapi apakah mudik leluasa dinikmati oleh almarhum proklamator seperti Bung Hatta. Jawabnya, ternyata tidak. Bahkan usai tak lagi menjadi wakil presiden beliau tetap tak dapat pulang kampung. Alasannya, unik uang pensiunan Bung Hata selaku mantan wapres tak mencukupi untuk membiayai keluarganya mudik yang oleh orang Minang kini lazim disebut ‘pulang basamo’.

Kisah tentang Bung Hatta yang tak dapat mudik, dikisahkan oleh putrinya Dr Gemala Hatta dalam sebuah perbincangan di WAG Paguyuban Penulis Satu Pena. Adanya kisah dari Gemala ini mengejutkan sekaligus ironis bila dibandingkan kehidupan gemerlap dan tajir para pejabat Indonesia masa sekarang yang bisa pulang balik pakai pesawat kepresiden.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Selain perbincangan di WAG Satu Pena, penulis juga sempat berbincang langsung melalui WA pribadinya sekaligus meminta izin Gemala untuk memuat kisahnya dalam sebuah tulisan yang lebih panjang. Sebab, bagaimanapun sosok Bung Hatta masih terus dan harus hidup di sanubari seluruh anak bangsa, terutama contoh konkrit kesederhanaanya dan sikapnya yang saleh serta menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Sosok pemimpin inilah yang terus dirindukan kehadirannya pada saat ini ketika teladan pemimpin banyak yang mulai hilang terkikis.

Gemala berkisah begini di dalam WAG Satu Pena ketika ditanya, apakah Bung Hatta dahulu ikut mudik lebaran? Dia menjawab:

“Hidup masa orla (Orde Lama) kan susah sekali. Pensiun wapres direndahkan di bawah gaji supir kami yang cuma jebolan SR (Sekolah Takyat/SD,red) kelas 3 dan pesantren. (Bung Hatta) juga dihentikan mengajar koperasi di UGM oleh Mendikbud Priyono kala itu. Katanya atas perintah boss besar. Lalu buku ayah dilarang terbit ‘Demokrasi Kita’ dan Buya Hamka yang memuat tulisan itu dalam majalah Pandji Masyarakat masuk bui. Pandji Masyakat kemudian di breidel. Pasport ayah dicekal Subandrio (wakil perdana menteri kala itu,red). Jaman itu susah, pak? Karya ayah diporakporandakan di masa orla (Orde Lama). Too much to be told (terlalu banyak untuk diceritakan). Orang baru kenal arti libur justru sesudah orla (Orde Lama) tumbang.”

Terkait Bung Hata mudik atau pulang basamo, Gemala melalui percakapan di WA secara pribadi lebih lanjut menceritakan bila Bung Hatta baru bisa pulang kampung jauh-jauh hari setelah Bung Hatta mundur atau tak lagi menjabat sebagai wakil presiden mendampingi Presidan Soekarno. Dari catatan sejarah Bung Hatta mundur dari jabatan wakil presiden itu pada 1 Januari 1956. Gemala mengatakan Bung Hatta pulang kampung basamo pada tahun 1967. Bahkan, sebelum itu Bung Hatta bersama keluarga belum pernah melakukan mudik (pulang basamo) saat lebaran.

“Kalau di kami, banyak saudara di Sumatera Barat tapi bukan rumah kami. Mudik keluarga tidak pernah ada. Tapi kami 1967 saat ada undangan dari Gubernur Sumatra Barat Harun Zain untuk melihat Sumbar setelah G30 S. Dari kunjungan itu kami dapat pergi berkeliling ke banyak kabupaten. Amat menyenangkan,’’ ungkap Gemala Hatta. Seain itu, “Ayah (Bung Hatta, red) pernah melihat jalan darat dari Sumut ke Sumbar dengan beberapa orang dan terkaget-kaget dengan buruknya jalanan di situ yang bergelombang. Itu kira-kira terjadi pada tahun 60-an. Lupa tahun persisnya.”

Bercermin pada kisah itu, memang terasa kontras sekali antara kehidupan pemimpin negara di masa awal Republik ini berdiri dengan masa kini. Semuanya masih sederhana dan memimpin benar-benar menjadi teladan rakyatnya. Bahkan, seperti sering dikatakan pendiri bangsa dari Sumatera Barat lainnya, H Agus Salim, mereka memahami: ‘Memimpin adalah menderita!’

Bung Hatta telah mempraktikkan arti memimpin sejati sepanjang kurun hidupnya. Hidup sederhana dan tak mau melakukan korupsi sudah pula dipraktikan ketika dia harus menabung untuk mendapatkan sepasang sepatu bermerk Bally yang sudah lama diinginkannya. Bayangkan, seorang wakil presiden harus bersikap seperti itu hanya untuk mendapatkan barang yang sangat sepele.

Alhasil, bagi siapa saja yang berkunjung atau melintas di dekat makam Bung Hatta yang berada di area kawasan Tanah Kusir, mohon sering-seringlah mengirimkan Al Fathikhah beliau. Makamnya memang sepi dan sederhana, tapi percayalah semangat kecintaan Bung Hatta kepada rakyatnya tak pernah luntur. Dan itu telah dipraktikkan sepanjang masa hidupnya dengan tanpa cela.

Kejuhudan Moh Hatta adalah teladan sejati bagi bangsa!