Politik

Ketika Penguasa Menjadi Pemain Dalam Demokrasi

Kekuasaan Sultan Ottoman.
Kekuasaan Sultan Ottoman.

Oleh: Edi Aruman, Jurnalis Senior, mantan jurnalis Republika

Dalam tatanan demokrasi, pembuat kebijakan memiliki peran penting dalam menentukan arah dan masa depan suatu masyarakat. Dalam konteks ini, apakah seorang pembuat kebijakan sebaiknya juga berperan sebagai pemain dalam objek kebijakan itu sendiri? Ada berbagai perspektif untuk mempertimbangkan pertanyaan ini.

Ketika seorang pembuat kebijakan berperan sebagai pemain, mereka memiliki akses langsung ke pengetahuan dan pengalaman yang relevan. Mereka memahami betul bagaimana kebijakan bekerja, dan apa dampaknya di lapangan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Komunikasi menjadi lebih efektif karena mereka dapat dengan jelas merumuskan tujuan dan harapan dari kebijakan yang dibuat. Selain itu, dengan berada dalam sistem, mereka berada dalam posisi yang baik untuk mendorong perubahan positif dan inovasi.

Namun, ada juga potensi bahaya yang muncul dari peran ganda ini. Pembuat kebijakan memiliki peran penting dalam menentukan arah dan masa depan suatu masyarakat. Dahl (1989) menjelaskan bahwa dalam demokrasi, pembuat kebijakan harus bertindak sebagai agen masyarakat, menentukan kebijakan yang berfungsi untuk kepentingan publik.

Terdapat risiko konflik kepentingan sangat tinggi ketika pembuat kebijakan juga berperan sebagai pemain. Kebijakan dapat dirancang untuk memberikan keuntungan kepada pembuat kebijakan itu sendiri atau kepada kelompok tertentu, bukan untuk kepentingan public (Peters & Handschin, 2012)

Kemampuan untuk menjaga objektivitas juga bisa menjadi tantangan. Saat kebijakan mendapat kritik, atau jika ada perlakuan yang merugikan, ini dapat langsung ditujukan kepada pembuat kebijakan yang juga merupakan pemain. Hal ini dapat sulit untuk dipisahkan dan dapat menimbulkan konflik pribadi.

Terakhir, bias merupakan potensi risiko lainnya. Pembuat kebijakan yang juga pemain dapat mengembangkan bias terhadap bagian tertentu dari sistem, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi efektivitas kebijakan secara keseluruhan.

Dengan demikian, penting bagi kita untuk memastikan bahwa pembuat kebijakan dapat mempertahankan objektivitas dan transparansi dalam peran mereka, dan mekanisme pengawasan harus diperkuat untuk menjaga keseimbangan dan keadilan dalam proses pembuatan kebijakan. Keseimbangan ini penting agar kebijakan yang dibuat dapat memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat secara umum, bukan hanya bagi segelintir orang atau kelompok tertentu.

Dalam konteks keadilan, peran ganda pembuat kebijakan sebagai pemain dapat mempengaruhi distribusi manfaat dan beban kebijakan. Menurut Rawls (2001) dalam masyarakat yang adil, semua individu harus mempunyai akses yang sama ke manfaat dan beban kebijakan publik. Disini ada dan berlaku konsep dan norma keadilan.

Konsep keadilan sosial berpusat pada ide bahwa semua individu seharusnya mendapat bagian yang sama dalam memanfaatkan dan memikul beban kebijakan publik. Jika pembuat kebijakan juga menjadi pemain, ada potensi besar bahwa kebijakan yang dibuat bisa menguntungkan mereka secara pribadi atau kelompok tertentu, bukan masyarakat luas.

Ketika pembuat kebijakan memiliki kepentingan pribadi atau kelompok dalam objek kebijakan, risiko bahwa kebijakan tersebut mungkin dirancang untuk mendukung kepentingan ini menjadi sangat tinggi. Ini berarti kebijakan dapat dipengaruhi oleh preferensi dan kepentingan individu atau kelompok tertentu, bukan berdasarkan apa yang benar-benar diperlukan oleh masyarakat atau apa yang paling adil.

Peran ganda ini dapat mengarah pada pengabaian atas kebutuhan dan aspirasi sebagian besar masyarakat, terutama mereka yang tidak memiliki representasi atau pengaruh yang cukup dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini berpotensi menciptakan ketidakadilan sistemik, di mana sekelompok orang secara tidak proporsional mendapatkan manfaat atau memikul beban dari kebijakan yang dibuat.

Selain itu, bias yang mungkin dimiliki oleh pembuat kebijakan dapat menyebabkan distorsi dalam penentuan prioritas kebijakan. Hal ini bisa menghasilkan kebijakan yang tidak berpusat pada isu-isu penting yang mempengaruhi masyarakat secara luas, namun lebih berfokus pada isu-isu yang relevan bagi kelompok atau kepentingan tertentu.

Untuk itu, diperlukan mekanisme pengawasan dan transparansi yang kuat untuk memastikan bahwa kebijakan dibuat dan diterapkan secara adil. Diperlukan juga pemisahan tugas dan peran antara pembuat kebijakan dan pemain untuk meminimalisir potensi konflik kepentingan dan bias. Keadilan dalam proses pembuatan kebijakan bukan hanya tentang hasil akhir, tetapi juga tentang bagaimana kebijakan tersebut dibuat dan siapa yang terlibat dalam proses tersebut.

REFERENSI

Dahl, R. A. (1989). Democracy and its Critics. Yale University Press.

Peters, A., & Handschin, L. (Eds.). (2012). Conflict of Interest in Global, Public and Corporate Governance. Cambridge University Press.

Rawls, J. (2001). Justice as Fairness: A Restatement. Harvard University Press.