Politik Dinasti Menjanjikan Demokrasi, Logiskah?

Politik  

Bagaimana realitas politik Indonesia seperti ini dinilai? Para filsuf terbelah kedalam dua pandangan merespon pertanyaan ini.

Pandangan pertama, memandang politik memiliki tujuan-tujuan moral, seperti keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan. Maka janji-janji politik harus diarahkan mencapai tujuan-tujuan itu dan harus dilaksanakan setelah kandidat memenangkan Pemilu. Pandangan ini saya sebut sebagai mazhab moralisme politik. Diwakili banyak pemikir , sejak Plato, Karl Max, hingga Habermas yang hidup di era kita.

Pandangan kedua, melihat politik sebagai bagian dari proses alamiah biasa tanpa tujuan lain selain tujuan-tujuan merebut, menata, mengelola, dan mempertahankan kekuasaan. Dalam pandangan kedua ini, janji-janji politik tidak bermakna apa-apa selama tidak dapat dibuktikan kontribusinya pada keberhasilan merebut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Ini mazhab realisme politik.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Dalam mazhab realis, janji-janji politik jikapun akhirnya harus dilaksanakan, tidaklah dalam rangka alasan-alasan moral. Tapi karena dipandang efektif mempertahankan kekuasaan belaka. Singkatnya, politik atau bahkan demokrasi tidak harus memiliki tujuan-tujuan mulia apapun. Pandangan kedua ini diwakili beberapa filsuf politik yang menonjol, seperti Xenophon di era Yunani Kuno, Machiavelli, hingga Jacques Rancière yang lebih kontemporer.

Para politikus Indonesia saat ini tidak memilih pandangan pertama atau pandangan kedua secara tegas. Mereka nampaknya mazhab campuran atau mix signal. Satu sisi, meyakini politik tak punya tujuan-tujuan moral, tetapi mereka malu-malu kucing mengkomunikasikan keyakinan itu kepada publik luas. Lalu mengucapkan janji-janji pandangan pertama, politik harus mencapai tujuan-tujuan etik untuk mencapai keadilan sosial, kesetaraan dan kesejahteraan bersama.

Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, tampaknya terjadi pergeseran secara konsisten dari moralisme politik yang dipraktekan pada generasi pertama republik ini ke realisme politik era Orde Baru dan generasi reformasi. Proses-proses politik yang benar kini telah dipahami sebagai proses penuh drama permainan kuasa dan bertumpu total pada kepentingan-kepentingan kekuasan kosong moral. Terkadang mengatasnamakan kepentingan nasional.

Dalam era realis politik kekinian, publik Indonesia cukup menikmati pertunjukan-pertunjukan elit dalam tukar tambah transaksi membangun koalisi politik yang rentan berubah tiap waktu. Seperti manuver politik Nasdem dan PKB dan drama patah hatinya Partai Demokrat. Publik juga diajak menduga-duga dan menerka teka-teki sinyal politik Presiden Jokowi, akankah ia memihak Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto.

Lalu perbincangan publik dengan sungguh-sungguh mengulas langkah-langkah Jokowi mendirikan dinasti politik baru. Terutama setelah anak laki-laki bungsunya Kaesang resmi menjabat sebagai Ketua Umum PSI dan anaknya yang lain Gibran digosipkan menjadi calon wakil presiden untuk Prabowo Subianto. Pula, menantunya Bobby yang menjabat walikota Medan saat ini akan diusung menjadi calon gubernur Sumatera Utara.

Jokowi tidak sendirian, kelakukan mendirikan dinasti politik lebih duluan dimulai oleh para penguasa partai politik lainnya, seperti Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Surya Paloh. Tapi, cara Jokowi mendirikan dinasti politik dinilai lebih elegan, karena meletakan dan menempa kemampuan politik anggota keluarga dari tingkat terbawah, menjadi kepala daerah tingkat kota. Berbeda dari Megawati dan SBY yang mewariskan tahta kepada anak-anak mereka dalam kerajaan partai politik yang mereka kuasai.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image