Ramalan Serbuan Tikus dan Pemberontakan Ulama Terhadap Sunan Amangkurat I, 1663-1664
Pada tahun 1663, Sunan Amangkurat I diberitakan sangat marah kepada sosok yang disebut dalam arsip VOC dari Van Goen disebut sebagai pangeran Mas Ingeri. De Graaf mengartikan nama ini dengan menyebut sebagai Pangeran Mas ing Giri. Disebut seperti itu karena pasti dia bukan karena kesetiannya yang berlebihan kepada Sunan, selaku raja Mataram.
Pemberi berita, Residen Luto, yang rupanya tidak tahu di mana letak Ingery, kemudian menerik kesimpulan bahwa ‘tentu saja akan ada nyawa melayang’. Jadi telah timbul ketegangan lagi saat itu?
Lalu, apakah Sunan menyesali pembunuhan atas bapak mertuanya beserta keluarganya, dan ingin menghukum mereka yang telah membujuknya berlaku demikian? Ataukah dengan demikian ia ingin menciptakan hubungan yang lebih baik dari putranya?
Ataukah dengan demikian ia ingin menciptakan hubungan yang lebih baik dari putranya?
Berbalik seperti seperti itu tidak aneh bagi raja ini. Bagaimanapun itu adalah soal hidup dan mati adalah soal hidup atau mati. Sang Pangeran Giri memang sudah sering dipanggil, tetapi harus dinyatakannya.
“Saya harus rela mati. Kalau saya harus mati, maka saya ingin mati di sini bukan di Mataram. Atau saya harus mendapat kebebasan untuk mempertanggungjawabkan diri kepada Sunan,’’ kata Pangeran Mas ing Giri.
Apakah ia menduga akan terjadi serangan atas Giri, seperti yang terjadi pada tahun 1635, dan akan terjadi lagi 1680? Apakah kegiatan di Pelabuhan tersebut di atas hanyalah pengantar ke arah itu, tetapi tidak berkembang lebih lanjut? Bagaimanapun Sunan tidak berani menyerang Giri. Mungkin karena ia sendiri tidak merasa aman di dalam negerinya.
Sebab, bahkan di dalam kerajaan sendiri pun timbul peristiwa yang kuat, juga dari pihak ‘kaum agama’. ‘Salah seorang kiai di Mataram’ konon menyampaikan ramalan kepada Sunan “bahwa kota Mataram dalam tahun-tahun mendatang akan mengalami kekurangan bahan makanan, karena tikus dakam jumlah ribuan akan menyerbu sawah dan ladang, dan dalam sekejap mata memusnahkan apa saja yang tumbuh dari tanah, sehingga di daerah sekitarnya tidak ada sesuatu apa pun yang dapat menghasilkan.”
Residen menganggap ‘tikus-tikus’ itu sebagai petunjuk mengenai berbagai pembesar yang dibenci raja. Dengan demikian, beberapa orang ulama ada menyebut pemberontakan Raden Kajoran yang oleh generasi kemudian diberi nama julukan Ambalik, si pengkhianat.