Sunan Giri dan Pusat Jaringan Ulama Penyebar Islam di Nusantara (Bagian 2, Habis)
Pada soal penyebaran Islam di Nusantara ada satu nama yang sangat berjasa, yakni Sunan Prapen atau juga disebut dengan Sunan Giri yang berada di Gresik. Pengaruh dia luar biasa. Bahkan bisa dikatakan lebig besar dari pengaruh 'wali kesayangan orang Islam Jawa', yakni Sunan Kalijaga.
Posisi Sunan Giri yang dikarunai umur panjang lebih dari 1000 abad dan berada di era perpindahan kekuasaan dari Majapahit ke Demak sangat menentukan atau sekaligus penting. Para pelaut Eropa yang kala itu sempat singgah di pelabuhan Gresik mengatakan posisi Sunan Giri layaknya seorang Paus di Eropa.
Hal itu karena tulis pelaut itu pada catatan pelayarannya, Sunan Giri sangat disegani oleh pihak raja yang berkuasa saat itu. Ini terbukti karena siapapun raja yang akan diangkat harus mendapat restu dia untuk berkuasa. Pendek kata Sunan Giri sangat disegani.
Keilmuan Sunan Giri juga sangat dihargai, Ini misalya ketika terjadi penyerbuan tentara Majapahit ke pesantrennya yang berada di tepiam muara Bengawan Solo di Gresik. Kala itu Majapahit terbagi terjadi dua kelompok, satu kelompok pendukung raja yang berasal dari anak kandung sang raja dan yang satu kelompok lainnya merupakan pendukung raja yang berasal dari anak mantu.
Para tentara Majapahit yang berasal dari anak mantu itulah yang menyerbu ke pesantren Sunan Giri. Mereka tak terima dan mempertanyakan keberpihakannya seraya melalui komandan tentara itu mengklaim dirinya sebagai pihak yang syah berkuasa. Mereka meminta Sunan Giri mengubah sikapnya.
Mendengar itu Sunan Giri kemudian berkata menjawab tudingan bahwa dirinya mendukung raja Majapahit yang tidak syah.''Kalau kalian cinta Majapajhit sebenarnya maka harus tahu siapa raja yang syah. Pihak anda adalah anak mantu mengapa menyebut diri sebagai raja yang syah. Beda dengan saya yang jelas bahwa raja Majapahit adalah putra kandungnya langsung. Keturunan atau trahnya. Bukan orang lain, yang cuma anak mantu. Lalu siapa yang menjadi pemberontak, saya atau anda dan anak menantu itu?"
Setelah dijawab begitu, sang komandan tentara yang menyerbu pesantrennya diam. Dia pun kebingungan atas jawaban baliknya sebab tahu bahwa raja itu harus merupakan anak dari raja sebelumnya, bukan anak menantu yang tak ada hubungan keturunan.
Situasi kebingungan sari sang komandan tentara itu mendengar jawaban itu di dalam ;Babad Tanah Jawi' digambarkan dengan tindakan Sunan Giri menghunus dan kemudian melemparkan keris 'Kala Muyeng' ke arah bala tentara penyerbu tersebut. Mereka pun kebingungan, sebagian kemudian berbalik arah dan sebagian lainnya balik arah pulang mengurungkan penyerbuan ke pesantren Sunan Giri.
Keris Kala Muyeng sangat bertuah. Terbukti keampuhannya membuat tentara Majapahit pro anak mantu kocar-kacir. Ini versi 'Babad Tanah Jawi'. Namun bila dipakai nalar sehat karena menyadari orang Jawa suka menyebut sebuah peristiwa melalui perlambang atau idiom, maka 'kala muyeng' berati (kala=kalamn/kata, muyeng=pening,red) atau kalam/kata yang membuat pening.
Artinya tuduhan dari komandan pasukan Majapahit bila dia pemberontak dibantah dengan telak oleh Sunan Giri. Ini karena justru yang jadi pemberontak adalah orang dan pasukan yang datang menyerbu pesantrennya karena mereka bukan pendukung Raja Majapahiy yang syah karena sang rajanya itu berasal dari anak mantu, bukan anak kandung.