Sejarah

Koeli Kontrak Dari Zaman Kolonial Hingga Milenial

Keoli kontrak pekerja perkebunan tembakau Deli.
Keoli kontrak pekerja perkebunan tembakau Deli.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Dahulu semasa menginjak akhir masa sekolah dasar, di kampungku ada seorang kerabat. Kami memanggilnya 'nenek'. Padahal ia seorang Jawa asli. Tapi semua orang sekampung memanggilnya dengan sebutan itu. Ibu meminta kami memanggilnya 'eyang Martili' saja.''Kamu jangan njangkar (tak sopan bahasa Jawa,red). Dia eyang buyutmu lho. Ojo saru! Pamali! Kualat!,'' tukas ibuku bertubi-tubi.

Eyang Martili memang unik. Berbeda dengan orang tua Jawa kebanyakan yang tak puguh berbahasa Jawa, saat itu eyang Martili kesehariannya berbahasa Melayu. Sangat fasih. Bahkan di antara perkataan bahasa Jawanya di sana-sini terselip kosa kata Melayu. Pokoknya eyang Martili 'nyentrik' banget.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Menginjak mulai dewasa, ibu mulai beri tahu bahwa dahulu eyang Martili itu pergi merantu ke tanah Deli di Sumatra Timur (kini Deli jadi bagian provinsi Sumatra Utara). Kisahnya pada suatu hari, jauh sebelum datang masa kemerdekaan, nenek Martili kabur dari rumah karena mau dijodohkan dengan seorang pria. Tapi dia tak sudi. Kemudian memilih minggat dari rumah.

Nah, ketika kabur dari rumah itulah dia berkenalan dengan seseorang yang ternyata agen pencari kerja untuk wilayah perkebunan tembakau di Deli. Tak hanya Deli, Martili sempat ditawari pergi ke Suriname. Dasar pikiran lagi puyeng, eyang Martili oke-oke saja. Dia menurut saja merantu ke Deli di tanah Sumatra dengan naik kapal dari pelabuhan Tanjung Priok. Untungnya dia tidak memilih pergi ke Suriname seperti sebagian 'koeli kontrak' lainnya pada saat itu.

Sesampai di sana eyang Martili cerita bila dirinya kemudian bekerja menjadi 'Koeli Kontrak' (kuli kontrak,red) di perkebunan Deli. Kerja dia menyiangi dan merawat tanaman tembakau di perkebunan Deli yang menjadi salah satu komoditi andalan pemerintah kolonial di pasar Eropa. Tembaku Deli berkualitas tinggi dan tak kalah bagus untuk dibuat cerutu seperti tembakau dari Kuba.

Dan tingginya harga komoditi itu yang merupakan hasil dari keringat dan jerih payah para kuli kontrak yang dibayar murah, tak sebanding dengan pendapatan atau gajinya. Bahkan, kalau dipadankan dengan situasi sekarang nasib mereka mirip dengan nasib para budak luit hitam dari Afrika di perkebunan kapas Amerika Serikat. Di tanah Deli itulah eyang Martili mendapat jodoh sesama orang Jawa. Di masa tua dia pulang kampung menjaga rumah peninggalan eyang buyut kami. Dia tak punya banyak harta. Namun, sebelum wafat dia sempat mewakafkan sebagian tanahnya untuk membangun pesantren dan masjid. Allahumaghfirlahum war hamhum.

Suasana perkebunan tembalku Deli di awal 1900-an, (foto: KTLV)
Suasana perkebunan tembalku Deli di awal 1900-an, (foto: KTLV)

*******

Kisah Deli dan Koeli Kontrak terngiang terus sampai kami dewasa jadi jurnalis Republika. Beberapa kali kami sempat ke perkebunan Deli yang dahulu ditinggali Nenek Martili itu. Di sana kami melihat rumah peninggalan para koeli kontrak yang terbuat dari papan dan mungil bentuknya. Tempat tinggal mereka dibuat berderet-deret. Bayangan saya, saat itu tampak mirip kamp para budak yang kerap dilihat dalam film-film Western alias Cowboy.

Terinsipasi atas nasib 'koeli kontrak' kami mencari berbagai bahan bacaan tentang soal ini. Ternyata memang mereka itu tak ubahnya 'budak belian'. Bila pun mendapat bayaran, mereka dibayar sangat murah. Tak sebanding dengan komoditi hasil pekerjaanya yakni komoditi tembaku Deli yang berharga mahal. Sosok semacam eyang Martili dan para koeli kontraknya dijadikan perahan bagi perkebunan Belanda. Mereka dimiskinkan secara masif. Misalnya, setiap kali gajian tuan kebun memanggil berbagai hiburan di tengah kebpn. Judi dan prostusi marak di sana. Gaji para koeli kontrak habis dalam sekejal.Yang terisa hanya beberapa potong pakain dan beberapa keping uang saja. Banyak di antara mereka terjerat renterir. Hidup dengan cara utang: gali obang tutup lobang.

Padahal lahan perkebunan itu berdiri di atas lahan milik Kesultanan Deli. Tapi apa daya mereka, sebab Kesultanan ini adalah berada berstatus sebagai wilayah taklukan Belanda. Di sana Sultan Deli tak ada giginya. Yang berkuasa adalah para 'toean kebon' kaki tangan kolonial Belanda. Mereka menghisap nasib para koeloi kontrak habis-habisan tanpa sisa.

Di masa tua saat pulang kampung, nasib eyang Martili sangat tidak enak. Ia tak punya putra. Di kala lansia dia dirawat oleh kerabatnya dan para tetangga kampungnya. Mereka terus berusaha menghibur dirinya agar melupakan kisah pahit hidup masa lalunya. Menjadi pekerja kontrak atau dahulu disebut 'Koeli Kontrak' bak nasib tebu dan pohon karet. Tebu: habis manis sepah dibuang. Pohon karet: ketika tak menghasilkan getah tinggal ditebang saja. Tak ada hasilnya.

Uniknya, di masa yang disebut milineal ini, sekitar seabad dari masa kelahiran eyang Martili, entah mengapa istiliah pekerja kontrak itu muncul kembali. Orang pintar di kalangan elit sudah lama memulainya semenjak dekade awal tahun 2000-an. Saat itu entah untuk alasan apa --katanya sih untuk perluasan lapangan kerja -- semua pekerja cukup dikontrak saja. Kesannya, tak perlu ada pegawai tetap sebab hanya memberatkan perusahaan. Dan itu persis nasibnya sama dengan apa yang dialami eyang Martili, kontrak terus dan miskin terus.

*******

Para generasi keempat eyang Martili kini terancam mengalami nasib buruk seperti itu kembali. Padahal katanya Indonesia sudah merdeka, penjajahan sudah lama pergi. Namun, ternyata 'koeli kontrak' masih ada. Ini misalnya seorang pegawai penyuplai rokok dari toko ke toko di kampung kami misalnya, sudah lama mengeluhkan betapa status dia tetap tak jelas mesti sudah enam tahun bekerja.

''Gimana bisa jelas Mas. Setiap dua tahun kontrak kami harus dimulai dari nol tahun. Ini karena diam-diam bos kami sebelum sampai jatuh tempo bulan ke-24, sudah meminta agar saya mengirimkan surat permintaan mundur bila ingin masih bekerja. Nanti, kalau sudah sampai pada bulan ke-24 saya datang kembali untuk melamar kerja sebagai karyawan baru."

"Saya tahu itu akal-akalan agar saya tak diangkat menjadi pegawai tetap sebab masa kerjanya akan sampai dua tahun. Dan ini artinya menurut undang-undang harus menjadi pegawai tetap. Nah, sebelum masa dua tahun itu tiba, maka saya diminta mengirimkan surat permintaan pengunduran diri. Bila tidak maka kontrak kerja akan digenapkan sampai 24 bulan, namun setelah itu kontrak saya tak akan diperpanjang. Dia selamat dari jerat hukum ketenagakerjaan dan saya meringis karena masa kerja saya nol tahun kembali. Tapi karena saya butuh kerja ya apa boleh buat. Saya terima saja,'' lanjutnya lagi.

*****

Sadar akan hal tersebut, pada hari-hari ini tiba saya teringat sosok eyang Martili, si-mantan Koeli Kontrak perkebunan tembaku di Deli. Apakah nasib 'koeli kontrak' seperti eyang Martili dan nasib pegawai kontrakan seperti teman-teman sekampung saya, kini terus terulang kembali? Kalau dahulu masuk akal, sebab itu di masa penjajahan dan eyang Martili sama sekali 'tak makan bangku' sekolahan.

Nah, apakah bangsa ini sekarang menjadi sesuatu sosok yang disebut Bung Karno sebagai bangsa 'koeli' yang menjadi 'koeli' di antara bangsa-bangsa.

Kalau sampai benar itu ironis sekali. Eyang Martili maafkanlah cicitmu ini...?!