Teringat Catatan Kelam Kebrutalan Masa DOM Aceh di Pidie
Oleh: Setiyardi, Jurnalis Senior
Gempa tektonik yang mengoyak Pidie, Aceh, mengagetkan saya. Duka mendalam untuk para korban dan keluarganya. Ingatan saya langsung terbang ke penghujung tahun 1998.
Ketika itu bulan suci Ramadhan. Setelah liputan bersama Muhammad Subarkah [Republika] dan Zainal Bakri [Tempo] di daerah Kampung Kandang, Lhokseumawe, saya lantas berpisah dengan kedua wartawan itu.
Dengan kendaraan umum, seperti Elf, saya menuju Pidie sendirian. Beberapa jam di perjalanan, dan sempat beberapa kali pemeriksaan oleh tentara [saat itu Aceh masih diberlakukan hukum Daerah Operasi Militer, DOM] akhirnya saya sampai di Pidie.
Saya menyewa ojek motor menuju Desa Cot Keng. Desa ini mendapat julukan sebagai "Kampung Janda", sebab kampung ini hanya berisi perempuan, anak-anak dan orang lanjut usia. Mayoritas kaum pria tewas dalam konflik senjata, atau melarikan diri ke hutan.
Saat itu, menjelang Idul Fitri, saya mencecap suasana duka di Kampung Cot Keng. Saya terlebih dulu bertandang ke rumah Geuchik, kepala kampong, dan diterima istrinya. Saya minta ijin berkeliling kampong.
Saya jumpai beberapa anak lelaki, dan perempuan, bertelanjang dada di bawah rumah panggung mereka. Tatapan wajahnya hampa. Dan saya tak bisa memberikan apa-apa, kecuali berupaya mengabarkan pada dunia keadaan mereka.
Kala itu bulan Ramadhan mendekati akhir. Saya paham sebetulnya ada budaya memasak dodol menjelang lebaran. Itu salah satu sajian khas Idul Fitri.
Dalam keadaan normal, para lelaki dewasa yang mengaduk dodol di wajan besar berjam-jam. Mereka memasaknya dengan kayu bakar. Tapi, saat itu tak ada lagi lelaki di kampung itu. Maka, tugas itu lantas digantikan perempuan dan anak-anak.