Politik

Pandangan dari Australia: Militer Indonesia Kembali ke Birokrasi, Kembalinya Dwi Fungsi?

Prajurit TNI dalam sebuah parade. (foto: anadolu).
Prajurit TNI dalam sebuah parade. (foto: anadolu).

Bagaimana pandangan negara jiran di selatan Indonesia, Australia. Universitas Melbourne misalnya sudah merilis tulisan yang berjudul 'Indonesian military back in the bureaucracy: the return of dual function' (Militer Indonesia Kembali ke Birokrasi: Kembalinya Dwi Fungsi?).

Tulisan ini karya Virdika Rizky Utama seorng peneliti di Sindikat PARA dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik di Universitas Shanghai Jiao Tong. Tulisana ini ada di laman https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/author/virdika-rizky-utama/.Tulisan tersebut selengkapnya sebaagai berikut.

'Militer Indonesia Kembali ke Birokrasi: Kembalinya Dwi Fungsi?'

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Demokrasi tumbuh subur dengan adanya perbedaan yang jelas antara peran militer, kepolisian, dan sipil. Ketika batas-batas ini menjadi kabur, terdapat kekhawatiran, sehingga disahkannya undang-undang pegawai negeri sipil yang baru – yang dikenal sebagai undang-undang ASN (UU No.20 Tahun 2023) – pada tanggal 2 Oktober seharusnya menjadi peringatan.

Sebab, Pasal 19 UU tersebut memperbolehkan anggota aktif TNI dan Polri menduduki jabatan sipil. Dan undang-undang tersebut menawarkan timbal balik, dengan Pasal 20 juga mengizinkan warga sipil untuk mengambil peran sebagai polisi dan militer.

Jika dilihat sekilas, undang-undang baru ini tampaknya membuka era baru kerja sama, yang memungkinkan warga sipil menduduki peran kepemimpinan di kepolisian dan militer, dan sebaliknya. Namun setelah diperiksa lebih dekat, hal ini tampaknya lebih berbahaya.

Pertama, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kepraktisan. Apakah warga sipil benar-benar memenuhi syarat untuk menduduki jabatan tinggi di kepolisian? Dan sebaliknya, apakah pejabat militer siap menghadapi kompleksitas pemerintahan sipil?

Namun, yang lebih penting, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang niat. Dengan semakin dekatnya pemilihan presiden, apakah undang-undang baru ini menandakan akan terjadinya campur tangan dalam pemilu?