Politik

Kebangkitan Rasialisme dan Populisme: Dari Trump, Le Pen, Wilder, Silvani, Hingga Seehofer

Seorang Muslimah Eropa berdemontrasi menuntut penghapusan rasialisme. 
Seorang Muslimah Eropa berdemontrasi menuntut penghapusan rasialisme.

Oleh: Manuel Kaisiepo, Jurnalis dan Mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia pada Kabinet Persatuan Nasional dan Kabinet Gotong Royong.

Ketika PBB menetapkan tanggal 21 Maret (sejak 1966) sebagai Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial Sedunia, pasti tak terbayang dalam benak mereka bakal muncul tokoh-tokoh macam Trump, Le Pen, Wilder, Salvani, atau yang terbaru, Seehofer.

Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial Internasional 21 Maret mengacu pada peristiwa kerusuhan rasial di Sharpeville, Afrika Selatan, 21 Maret 1960, yang mengakibatkan 69 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sudah lebih setengah abad momentum itu berlalu. Tapi praktik diskriminasi rasial masih terus berlanjut di berbagai pelosok dunia, dari yang terselubung hingga terang-terangan; dari skala kecil hingga skala "terstruktur, sistematis, dan massif", seperti istilah Mahkamah Konstitusi (MK).

Berlangsung bukan saja di negara-negara "Dunia Ketiga" (ini sebenarnya istilah usang pasca Perang Dunia 2), tapi juga di Eropa, jantung peradaban modern yang "civilized"; juga berlangsung di Amerika, negara kampiun demokrasi dan pembela HAM.