Sastra

Bukan Pakai Senjata, Khomeni Berjihad Lawan Inggris dengan Gelorakan Bahasa Esperanto

Ayatollah Khomeini di tengah masa rakyat di masa awal Revolusi Iran.
Ayatollah Khomeini di tengah masa rakyat di masa awal Revolusi Iran.

Oleh: Irsyad Mohammad, Anggota Pengurus Besar HMI

Bahasa seringkali menjadi salah satu faktor pemecah belah suatu bangsa, bahkan tidak sedikit bangsa sepanjang lintasan sejarah yang berkonflik dalam satu bangsa atau antarbangsa karena perbedaan bahasa.

Di Indonesia masalah ini tidak menjadi masalah yang seserius bangsa lain, sebab pada saat 28 Oktober 1928 para pemuda dari berbagai daerah berkumpul dalam Kongres Pemuda II menghasilkan pernyataan “Sumpah Pemuda” yang mana setiap delegasi berikrar dan bersumpah untuk tanah air yang satu, bangsa yang satu, dan bahasa yang satu yakni bahasa Indonesia.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Walhasil dengan adanya Sumpah Pemuda, ratusan etnis yang beragam di Indonesia memiliki satu bahasa persatuan yang juga menjadi lingua franca di Indonesia, yakni bahasa Indonesia.

Namun negara-negara lain tidak seberuntung Indonesia dalam hal ini, Afrika Selatan aja misalnya memiliki 11 bahasa resmi dan Belgia juga memiliki 3 bahasa resmi. Di Afrika Selatan meski terdapat 11 bahasa resmi, pada dasarnya yang menjadi lingua franca adalah bahasa Inggris.

10 bahasa yang lainnya pada dasarnya hanya pengakuan negara atas eksistensi 10 bahasa asli Afrika Selatan, meski dengan catatan bahasa Afrikaans yang menjadi salah satu bahasa tersebut merupakan bahasa turunan Belanda di Afrika Selatan.