Dataran Tinggi Golan: Tanah Jajahan Israel Berpenduduk anti-Israelisasi
*Pendudukan Ilegal*
Dalam Perang 1967, biasa dikenal sebagai Perang Enam Hari, Israel menduduki Jalur Gaza, Tepi Barat, al-Quds, Semenanjung Sinai, dan Dataran Tinggi Golan.
Dataran Tinggi Golan membentang seluas 1.860 kilometer persegi, mencakup satu persen total luas daratan Suriah. Selama Perang Juni 1967, Israel menduduki sekitar 1.250 kilometer persegi. Suriah hanya bisa mendapatkan kembali 100 kilometer persegi Dataran Tinggi Golan setelah Perang Oktober 1973.
Israel menggusur 95 persen penduduk Golan, sekitar 140 ribu warga Suriah, dan menghancurkan 340 desa dan kota Quneitra. Di atas desa-desa itu, Israel membangun 34 pemukiman pertanian dan kota Katzim, dengan populasi pemukim Yahudi 26 ribu jiwa.
Mereka juga membangun 76 radang ranjau, yang berisi sekitar dua juta ranjau, dengan beberapa berada di dalam dan sekitar desa desa berpenghuni.
Saat ini Israel menempati 1.176 kilometer persergi Dataran Tinggi Golan, termasuk 100 kilometer zona demiliterisasi sesuai Perjanjian Gencatan Senjata 1949.
Ada lima desa di Dataran Tinggi Golan yang diduduki; Majdal Shams, Mas'ada, Buq'ata, Ein Qiniya, dan Ghajar. Sekitar 10 persen penduduk lima desa itu bekerja di sektor pertanian, memanfaatkan 21 ribu dunam untuk bercocok tanam. Bandingkan dengan pemukim Israel yang bertani di atas lahan seluas 110 ribu dunam.
Dunam adalah satuan luas tanah yang digunakan Kesultanan Utsmaniyah, yang sampai saat ini masih digunakan di sejumlah negara Timur Tengah.
Tidak ada kesamaan pasti dunam dengan hektar. Di sejumlah wilayah satu dunam adalah 900 meter persegi, di wilayah lain 2.500 meter persegi. Namun di sebagian besar bekas wilayah Kesultanan Utsmaniyah, satu dunam setara dengan satu dekar atau 1.000 meter.
Orang-orang Golan bercocok tanam sejak berabad-abad, dan terkenal sebagai penghasil buah zaitun dan apel. Namun penggunaan air yang terbatas membuat kuantitas produksi pertanian tidak pernah tercapai.
Menurut Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial, perluasan permukiman Israel dan aktivitasnya telah membatasi akses petani Suriah terhadap air melalui penetapan harga dan biaya yang diskriminatif. Akibatnya, petani Golan hanya kebagian lima juta milimeter kubik air per tahun.
Peneliti Scott Kenedy, dalam _The Druze of the Golan: A Case of Non-Violent Resistance_ , menulis sumber utama air di Golan disita untuk penggunaan eksklusif para pemukim Yahudi, dan sumber air lainnya sebagian dialihkan untuk digunakan Israel.
Dalam tindakan yang mencerminkan sifat biadabnya, tahun 1981 Israel secara resmi mencaplok Dataran Tinggi Golan melalui UU Dataran Tinggi Golan yang disahkan Knesset.
Pengesahan UU ini melanggar resolusi internasional, dan menganggap keputusan Knesset batal, tidak sah, dan tidak memiliki efek hukum internasional. Sikap ini ditegaskan kembali oleh PBB pada 28 November 2023.
Meski PBB dan masyarakat internasional tidak mengakui pencaplokan Golan, dan hukum internasional menganggap 33 pemukim Yahudi di wilayah itu tidak sah, Israel mendapat pengakuan dari Presiden AS Donald Trump tahun 2019.
Sebagai ucapan terima kasih kepada Trump, sebuah pemukiman baru didirikan dan diberi nama Donald Trump.
Menariknya, setelah Joe Biden memangku jabatan tahun 2020, pemerintahnya tidak membatalkan keputusan itu dan menyebut wilayah Golan sebagai Isael utara, bukan bagian wilayah Suriah.
Pada 26 Desember 2021, pemeirntah Israel di bawah PM Naftali Bennett menyetujui rencana menggandakan populasi Yahudi di Golan pada tahun 2030, dengan anggaran satu miliar dolar. Rencananya, Israel akan menghadirkan 23 ribu orang Yahudi di pemukiman baru di sekujur Golan.