Deva Raja dan Konsep Kekuasaan Jawa: Benarkah Lestari Hingga Kini?
TANYA:
Bagaimana dengan pihak berseberangan (menjadi opoisi) di kekudaan Demak?
JAWAB:
Sementara itu, aristokrat yang berseberangan dengan arus politik kerajaan distigma sebagai oposisi. Mereka disantrikan untuk memperdalam ilmu agama Islam di pesantren pilihan raja. Makna disantrikan adalah disingkirkan dari konstelasi politik, dan tindakan itu justru menguntungkan proses Islamisasi.
Pada sisi lain, tindakan penyantrian memacu tumbuhnya konflik antara aliran traditional Javanese mysctism dan orthodox legalistic Islam. Yang menarik dari kasus di atas adalah anak-pinak kelompok oposisi pada pertengahan abad ke-19 melancarkan gerakan protes bersifat periferal dan semiperiferal dengan basis ideologi Islam. Gerakan perlawanan keagamaan itu merupakan “embrio” gerakan perlawanan abad ke-20.
Kedua, di dalam lingkaran ulama juga terjadi perdebatan mengenai urgensi para ulama melibatkan diri dalam politik praktis di Kerajaan Islam Demak.
Salah satu ulama yang menentang aktivitas politik praktis itu adalah Syekh Siti Jenar. Dia berpendapat, ulama harus dapat memisahkan antara kepentingan dunia dan agama. Dia khawatir 'tangan suci ulama terbelit kotoran darah'. Inti pemikiran keagamaan Syekh Siti Jenar berfokus pada persoalan kesalehan personal, bukannya pada kesalehan sosial yang dibutuhkan masyarakat.
Namun, pemikiran Syekh Siti Jenar justru dijadikan pedoman elite politik pada pertengahan abad ke-17 untuk memutus relasi dengan ulama. Pemutusan relasi itu membangun struktur sosial baru yang disebut manunggaling kawula gusti.