Ulama, Pesantren dan Tasawuf, Jejak Dakwah Islam di Indonesia
'Umat Islam harus melakukan introspeksi diri dan retrospeksi atas perjalanan sejarahnya!'' Pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono X ketika memberikan pidato pada acara pembukaan Kongres Umat Islam yang digelar di Pagelaran Keraton Yogyakarta pada awal Februari beberapa tahun silam.
Pidato Sultan Yogyakarta yang dinyatakan di auditorium Hotel Garuda Yogyakarta tersebut memang terasa mengentak. Paling tidak membuat terkejut para pejabat dan pemuka umat Islam yang saat itu hadir.
Sultan menegaskan betapa hubungan Kesultanan Yogyakarta, jaringan ulama, dan perkembangan Islam sudah begitu eratnya, namun sayang banyak yang mulai melupakannya.
Sultan kemudian menceritakan mengenai perjalanan Islam di kepulauan yang dahulu bernama nusantara ini. Dia mengawalinya dengan mengisahkan soal hubungan antara kerajaan Islam pertama di Jawa, Kesultanan Demak, dan kekhalifahan Islam di Turki.
''Pada 1479 M, Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera ‘Laa ilaah illa Allah' berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain kiswah Ka'bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Keraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil kekhalifahan Turki,'' kata Sri Sultan.
Atas ide retrospeksi sejarah Islam yang datang dari pidato Sultan itulah kemudian dalam tulisan ini kami mencoba memaparkan kembali soal kaitan jaringan ulama yang selama ini ada di Indonesia. Dalam soal ini memang sudah ada disertasi yang ditulis tokoh intelektual Islam terkemuka Azyumardi Azra.
Bahkan, disertasi ini sudah lama dipublikasikan. Meski begitu diyakini baru sedikit orang yang mengerti dan paham mengenai seluk-beluk jaringan ulama tersebut.
Pemaparan kembali 'jaringan ulama' ini makin menarik setelah pada waktu terakhir ini muncul kembali kontroversi mengenai seperti apa 'wajah Islam' di Indonesia. Ada salah satu pihak yang ingin menampilkan wajah Islam yang hanya berwarna 'murni syariah' dan di sisi lain ada pihak yang ingin menampilkan Islam dengan wajah syariah yang lebih luas, yakni dengan masih menyertakan wajah budaya lokal atau Islam ala Nusantara (Indonesia).
Dalam soal ini, Azyumardi mengatakan mau tidak mau wajah Islam Indonesia punya 'model' yang tersendiri atau yang tidak sama dengan 'model Islam' yang kini ditampilkan di kalangan negara-negara Timur Tengah.
Islam Indonesia jelas masih menerima nilai-nilai tasawuf serta masih menerima budaya lokal, yakni mengadopsi budaya lokal atau adat yang sudah 'diislamkan'. Dengan kalimat yang lebih mudah: Islam di Indonesia tidak hanya mengacu pada fikih atau syariah saja!
"Dalam praktiknya, Muslim Indonesia senang mengamalkan syariah dan tasawuf. Pada akhir abad 18 dan awal abad 19 di Minangkabau pernah ada Perang Padri. Perang ini mirip gerakan Wahabi di Saudi Arabia yang menolak tasawuf dan adat. Meereka memerangi paham lain, yakni orang yang tak sepaham dengan paham Khawariz dan menganggapnya kafir. Tapi, ini ternyata tak berhasil. Bahkan, ajaran mereka kini sudah tak banyak bekasnya,'' ujar Azyumardi.
Memang setelah perang Padri (1821-1837) usai, lanjut Azyumardi, orang-orang Islam—dalam hal ini orang Minangkabau—kemudian kembali kepada tradisi Islamnya yang selama ini dilakukan, yakni bersama-sama melaksanakan syariah dan tasawuf secara terpadu. Selain itu, usaha 'pemurnian Islam' di wilayah lain juga gagal. Rakyat lebih memilih cara beragama 'jalan tengah' yang selama ini didakwahkan oleh para ulama yang yang menganut ajaran tasawuf.
''Rakyat atau penduduk lokal tetap ingin memegangi adat istiadatnya. Jadi, adat atau tradisi lokal yang sesuai dengan Islam tetap mereka pegangi. Di sini adat tidak dicabut begitu saja. Masing-masing suku di Indonesia memegangi adatnya masing-masing. Bahkan, kemudian sebagian besar dari adat itu mengalami proses Islamisasi. Ini terlihat dalam ritus-ritus peralihan manusia, misalnya, kelahiran, mulai baca Alquran, khatam Alquran, tingkeban, mau menikah, meninggal, dan lainnya,'' kata Azyumardi.
Dengan begitu, munculnya model Islam ala Indonesia ini harus diakui hadir berkat jasa para ulama yang menjadi pengikut tarikat itu (lebih akrab dikenal dengan guru sufi atau wali). Dimulai abad ke-17, secara perlahan tapi pasti mereka mengubah kedalaman keyakinan penduduk lokal yang saat itu baru mengenal Islam sebatas lapis tipis 'kulit ari’.
“Pada awalnya, yakni sekitar 400 abad (dari abad ke-13 hingga 17 M), para ulama ini memang masih menerima perilaku masyarakat yang sinkretik terhadap Islam. Bahkan, mereka menoleransi bila masyarakat masih menjadi Islam minimal, yakni sekadar sudah bersyahadat belaka,'' kata Azyumardi.
Tapi, seiring datangnya ulama, seperti Nur al-Din al-Raniri (wafat 1068 H/1658), lanskap umat Islam di Indonesia berubah. Penduduk lokal di nusantara mulai paham mengenai syariah Islam karena pada saat itu mulai muncul banyak kitab berbahasa Melayu yang membahas soal syariah. Di samping al-Raniri, juga harus dicatat peran ulama Abdul-Ra'uf al-Sinkili (1024-1105 H/1625-1693 M), Muhammad Yusuf al-Maqassari (1037-1111 H/1627-1699 M), hingga generasi ulama sesudahnya yang hidup antara abad 18 hingga awal abad 19, seperti Syihab al-din bin Abd Allah Muhammad, Kemas Fakhr al-Din, 'Abd al-Shamad al-Palimbani, Kemas Muhamad bin Ahmad, dan Muhammad Muhyi al-Din bin Syihab al-Din.
Nah, berkat peran merekalah—terutama ulama yang muncul pada abad 18 dan 19—perkembangan dakwah Islam di Indonesia bergerak dinamis dengan selalu berhubungan dengan pusat jaringan ulama yang berada di Haramayn dan Kairo. Mereka bukan hanya menjadi saluran penting dalam penyebaran pembaruan Islam dari Timur Tengah ke nusantara, melainkan juga menjadi penghubung bagi para ulama Melayu-Indonesia yang datang untuk menuntut ilmu di Masjidil Haram (Makkah) pada masa sesudahnya.
Dan, perkembangan Islam di Indonesia makin kencang setelah jaringan ulama itu memunculkan berbagai ulama baru yang kemudian menjadi tokoh bangsa ini. Dalam hal ini, jelas ada nama KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH Hasyim Asy'ari (pendiri Nahdlatul Ulama), hingga KH Kholil Bangkalan yang bisa disebut 'nenek moyang' pesantren di Indonesia.
Alhasil, selain mampu menambah ketebalan keyakinan warga lokal terhadap ajaran Islam, para ulama Melayu Indonesia itu kemudian juga memainkan peran penting dalam melestarikan semangat kaum Muslim nusantara dalam menghadapi ekspansi wilayah yang terus dilakukan kekuatan-kekuatan kolonial Eropa. Peran ini berlanjut seiring datangnya Proklamasi 17 Agustus 1945. Dipelopori KH Hasyim As'ari, para ulama yang ada di jaringan ini pun mengobarkan perjuangan mempertahankan posisi kemerdekaan.
Menyadari hal itu, pernyataan Sultan Hamengku Buwono X pada beberapa tahun silam itu, yakni agar umat Islam melakukan retrospeksi peran sejarahnya, terasa begitu bernilai artinya. Ini karena fakta menyatakan bahwa masih banyak hal yang belum diungkapkan ke publik mengenai sejarah atau khazanah Islam di Indonesia.
Alhasil, mau tidak mau berkat peran ulama itu—dan didukung oleh peran para sultan di Nusantara—Islam Indonesia dipastikan punya wajah yang tersendiri. Dan, pembentukan wajah yang khas ini berjalan setapak demi setapak dan berlangsung selama ratusan tahun.
''Perlu diketahui, ketika 1935, Ataturk mengubah sistem kalender Hijriyah menjadi Masehi maka jauh-jauh hari sebelumnya, Sultan Agung pada 1633 telah mengembangkan kalender Jawa dengan memadukan tarikh Hijriyah dengan tarikh Saka. Masa itu sering disebut sebagai awal Renaisans Jawa,'' tegas Sultan ketika mencontohkan proses perkembangan Islam di Indonesia.
Maka itulah, wajah Islam Indonesia yang semenjak dahulu diikat dan dibangun dengan cucuran keringat, air mata, bahkan darah pengorbanan para ulama. Kalau begitu, apakah masih layak bila jasa mereka diingkari ...?