Budaya

Renungan Gamawan dan Khalil Gibaran: Tragedi Bangsa Kasihan!

Tropes ketragisan.

Oleh:Muhammad Subarlah, Jurnalis dan pengakar komunikasi.

Mungkin kita merenung akan sebuah gugatan dari mantan Gubernur Sumatra Barat, Gamawan Fauzi, mengenai nasib mengenaskan anal-anak bangsa ini. Tulisan dia tersebar sangat marak diberbagai WA grup. Tanggapanpannya sangat beragam. Tapi kesimpulannya, ternyata peradaban bangsa ini masih rendah. Bahkan sangat rendah dan menjijikan.

Dalam tulisan itu Fauzi mengkrtik sebagian orang yang dahulu memuja-muja kekuasaa, tapi diakhir kekuasaan dia memaki-maki sang penguasa lama yang sebentar lagi pergi. Sedihnya, mereka yang dulu memuja dan kini memaki, menyambuk kekuasaan baru dengan penuh pujaan. Persis dahulu ketika penguasa yang akan pergi itu akan memulai berkuasa.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Pada tulisan Gamawan itu ada renungan yang bernas. Hal itu tentang ‘Senjakala Presiden Jokowi di Mata Orang Minan.”

Menurut Gamawan: “....Mereka merasa tidak perlu ikut menghujat dan mencaci-maki Jokowi dan keluarganya, karena dalam pemilu tahun 2014 dan juga pilpres 2019 sudah menyatakan sikap dalam bentuk pilihan. Hanya orang yang salah pilih, yang merasa terbeli kucing dalam karung, yang akhirnya menggerutu ketika sadar pilihannya keliru. Sedangkan yang sudah menyatakan sikap sedari awal tak perlu lagi ribut-ribut.

Masyarakat Sumbar atau Minangkabau merasa tidak perlu mengadakan tobat nashuha politik secara massal, karena telah salah memilih. Mereka tak perlu pula menyampaikan suara koor penyesalan. Sebab, sedari awal mereka sudah menyatakan sikap, bahwa ‘maminteh harus sabalun anyuik, malantai harus sabalun luluih’. Artinya, langkah antisipasi harus dilakukan sedari awal sebelum timbul penyesalan di kemudian hari. Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada guna.

Apalagi mereka sejak awal sudah melihat:"Cewang di langit tanda kan panas, gabak di hulu tanda kan hujan. Membaca tanda-tanda itu diajarkan oleh fasafah adat mereka: "Alam terkembang jadi guru".