Gundik: Kata dan Fenomena Masa Lalu Jakarta Yang Kembali Muncul di Era Milenial

Sejarah  
Tuan putih Eropa bersama para gundik pribumi dan anaknya di Batavia, (foto: Reggy Bay)
Tuan putih Eropa bersama para gundik pribumi dan anaknya di Batavia, (foto: Reggy Bay)

Ada yang membuat terperangah pada kasus hukum kasus suap pajak mantan petinggi lembaga negara masa kini di Jakarta. Dalam kasus ini adalah kembali akrabnya di media daring pengunaan sebutan 'Gundik'. Sebuah kata lama yang sudah lama tak terdengar. Kata itu kini lebih diperhalus dengan sebutan 'perempunan simpanan' atau memakai kata yang asing ala Inggris 'mistress' hingga sebutan ala bahasa Jawa: Cemceman.

Dan bila melihat sejarah Jakarta, fenomena ini bukan barang baru. Sejak zaman kolonial fenomena gundik sudah eksis. Apalagi, pada awal-awal kedatangan orang Eropa di Batavia -- bahkan hingga beradab kemudian -- acapkali hanya kaum prianya saja yang datang. Akhirnya mereka mencari perempuan pribumi untuk jadi isteri simpanan.

Dan ini uniknya, kala itu gundik bukannya disimpan rapat 'malah dilakulan terang-terang dan dijadikan kebanggan status sosial. Akibat lain dari fenomena lelaki Eropa yang datang tanpa perempuan serta tinggal sendirian di Batavia, kemudian muncul dalam apa yang disebut peralatan tidur yang bernama 'guling'. Benda itu adalah fenomana khas Hindia Belanda yang terus eksis sampai sekarang. Di tempat lain,peradaban orang Eropa akan bingung bila menyebut guling sebagai alat bantu tidur dengan cara dipeluk mirip memeluk seseorang.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kisah gundik, atau di Betawi disebut 'perempuan piara', yang paling terkenal di Jakarta masa lalu (Batavia) adalah Nyai Dasima. Dia seorang perempuan asal Bogor yang menjadi 'bini piara' seorang amtenar asal Inggris. Rumahnya mentereng. Terletak di kawasan elit Menteng yang tak jauh dari kawasan lapangan Gambir (sekarang kawasan Monas). Rumah sang amtenar itu kini jadi bagian dari gedung kuna dari sebuah lembaga penting yang letaknya tak jauh dari jembatan Kali CIliwung yang mengarah ke Masjid Istiqlal.

Kisah Dasima berakhir tragis. Dia dibunuh dengan cara kepalanya dipenggal oleh orang bayaran yang disewa suami Inggrisnya di dekat pangkalan sado yang berada di dekat jembatan Sungai Ciliwung di kampung Kwitang. Mayat Dasima dihanyutkan ke sungai Ciliwung dan kemudian di bawa arus air sehingga nyangkut di jembatan sungai yang tak jauh dari rumahnya yang keren itu. Kasus ini pada akhir tahun 1800-an ini membuat geger Batavia. Jadi kalau soal 'bini piara' di Batavia masa kini, terasa tragis sekaligus membuat geger, bukan barang atau cerita baru. Ini seperti syair di kisah lagu lama yang selalu indah untuk didendangkan.

Jadi,semenjak dahulu kala kota Batavia memang gemerlap. Namun, faktanya tak hanya surga dunia yang ada di tanah orang Betawi, neraka dunia pun ada. Tak hanya dilanda kerusuhan, perang, dan kemiskinan, Batavia dulu pun menjadi surga pergundikan atau per-“nyaian” alias penuh dengan fenomena 'bini piara'. Bahkan, para sejarawan bilang bahwa Batavia hanyalah bagian kecil dari dunia pergundikan yang sudah begitu eksis dan merata pada zaman kolonial.

Tidak tanggung-tanggung pada awal 1800 ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels papertama kali menginjakkan kakinya di Batavia, dia mendapatkan kenyataan buruk, maraknya praktik pergundikan itu. Dia melihat langsung betapa para pejabat Belanda terbiasa hidup berfoya-foya dengan memelihara “perempuan pribumi” tanpa nikah tersebut.

Menyadari meluasnya pergundikan itu, Daendels yang tinggal di Batavia dengan mengemban tugas khusus dari Napoleon untuk mengamankan Jawa dari serbuan tentara Inggris, segera mengetahui betapa rendah semangat dan moral aparat pemerintahannya di dalam menjalankan tugas. Ia khawatir melihat kenyataan sedikitnya jumlah orang Eropa yang berdiam di Hindia Belanda yang bisa dikerahkan untuk menghadapi bala tentara Inggris bila datang menyerang. Meluasnya praktik “pergundikan” menjadi salah satu sebabnya.

Penulis buku Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda, Reggie Baay, dalam sebuah wawancara beberapa tahun silam, mengakui situasi itu dengan sikap terbuka. Meski dia orang Belanda dan juga merupakan keturunan “nyai”, mengatakan mulai abad ke-18 M Batavia pada saat itu memang sudah layak disebut sebagai kota gundik dan budak.

‘’Hampir semua pejabat pemerintah pasti punya dua hal tersebut. “Nyai dan budak itulah yang melayani kebutuhan tuan pejabat Eropanya,’’ kata Reggie.

Daendels Terkejut Ketika Menemukan Fakta Batavia Dipenuhi Anak Hasil Pergundikan

Melihat situasi itu, Daendels pada saat itu juga langsung mengambil tindakan. Dia segera saja melipatgandakan kedatangan orang Eropa ke Batavia. Namun sayang, usaha ini gagal total karena buruknya dan lamanya waktu pelayaran dari Eropa ke Batavia sehingga banyak gadis Eropa yang meninggal di perjalanan. Apalagi kemudian terbukti ternyata perempuan kulit putih yang dikirim ke Hindia Belanda sebagian besar perempuan bermoral rendah atau terbiasa hidup dengan menjajakan layanan seksual.

Dan, yang paling membuat Daendels terkejut adalah ketika dia membuka perekrutan tenaga tentara. Ternyata, mereka yang mau mendaftar adalah kebanyakan “orang Indo” atau anak-anak dari perempuan yang dipiara “tuan putih kolonial”. Tak cukup dengan itu, Daendels pun semakin merasa heran akan banyaknya anak yang lahir dari hubungan campur yang kebanyakan mereka kemudian ditelantarkan sang ayah Eropanya.

Demi mencegah meluasnya bencana, terutama untuk menyelamatkan kepentingan kolonialnya dan untuk memperoleh pasokan anggota tentaranya, Daendels kemudian melakukan pengesahan anak-anak Eurasia secara hukum. Anak-anak dari para nyai ini kemudian diakui secara resmi oleh ayah Eropanya. Ini dilakukan Daendels dengan harapan mereka nanti ketika sudah menjadi tentara akan setia kepadanya.

Usaha yang sama kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Hindia Belanda berikutnya yang berasal dari Inggris, Raffles, yang datang ke Batavia pada 1811. Raffles pun melihat “kejanggalan” itu. Ia juga mendapati meluasnya praktik pergundikan hingga ke kalangan elitenya. Bagi Raffles dan para orang Inggris lainnya yang saat itu kebanyakan masih punya landasaran moral sangat konservatif dalam urusan seks, menjalani hubungaan seksual dengan perempuan Asia, lebih parah lagi sampai menikahi mereka, adalah merupakan aib yang sangat besar.

Tak cukup hanya dengan prihatin, Raffles mulai menerapkan pelarangan atas praktik aib ini. Bukan hanya itu, bersama istrinya, Olivia, Raflles selaku gubernur jenderal Hindia Belanda saat itu pun berusaha memberi contoh secara langsung. Ia berpendapat bahwa istri, terutama istri laki-laki yang punya jabatan tinggi, harus melakukan tugas tertentu di masyarakat. Olivia mendapat tugas penting resmi untuk menjalin kontak dengan pejabat tinggi pribumi dan Eropa di Hindia Belanda.

Akibat kebijakan ini, para pejabat dan penduduk Belanda yang lama di koloninya pun terpaksa mengikutinya. Mereka juga semakin sering tampil keluar bersama istri yang juga semakin terlihat dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, kebijakan Raffles ini sempat menjadi tren dan terus berlangsung hingga beberapa dasawarsa ke depan.

Namun, seperti yang ditulis Reggie Bay, sikap gubenur jendral asal Inggris yang tak membenarkan pergundikan di Hindia Belanda in, ternyatai tidak serta-merta menjamin lenyapnya pergundikan di bawah pemerintahan kolonial mereka. Bahkan warga Inggris pun terkadang hidup secara terang-terangan hidup serumah dengan para gundik Asianya.

Nah, salah satu skandal seksual terheboh yang menimpa pejabat adalah terjadi pada salah satu orang penting yang ada di lingarkan dalam pemerintahan Raffles, yakni Edward William. Dia terlibat kasus pembunuhan dengan salah satu perempuan piaraannya, Nyai Dasima.

Adanya kasus ini, maka gegerlah penduduk Kota Batavia. Tak hanya menjadi perbincangan yang meluas dari mulut ke mulut, koran-koran yang terbit pada saat itu juga memuatnya. Sejarawan Betawi, JJ Rizal, mengatakan, kisah atau cerita “Nyai Dasima” itu merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi. Dan, mereka yang terlibat di dalam cerita ini juga bukan tokoh rekaan.

Para pelakunya adalah benar-benar ada. Bahkan, masih bisa ditelusuri, yakni di sepanjang Sungai Ciliwung yang membentang dari Kampung Kwitang hingga Pejambon, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. ‘

’Kisahnya benar-benar terjadi. Arsip koran-koran Belanda yang terbit saat itu, yakni sekitar tahun 1811, memang menuliskan kasus pembunuhan itu. Rumah teman William konon kini menjadi kementerian luar negeri Pejambon. Dan, jembatan yang menjadi tempat tersangkutnya mayat Nyai Dasima setelah dibacok orang suruhan William, yakni Bang Puase, juga masih ada. Letak jembatan itu tak jauh dari gedung kementrian luar negeri dan kementerian agama sekarang,'' kata Rizal.

Para tuan Eropa dengan ibu pribuminya. (foto: buku Regie Baay: buku Nyai & Pergundikan)
Para tuan Eropa dengan ibu pribuminya. (foto: buku Regie Baay: buku Nyai & Pergundikan)

Dari Mana Gundik Batavia Berasal?

Rizal mengakui, bila dirunut, praktik “nyai” atau pergundikan di Batavia dimulai dari kedatangan para pegawai VOC di Nusantara sekitar 1600. Mereka datang tanpa disertai istrinya. Bahkan, dalam masa yang panjang meski banyak lelaki Eropa yang tinggal di Batavia, di kota ini tak bisa ditemukan perempuan Eropa.

Akibatnya, urusan rumah tangga hingga pemenuhan kebutuhan seksual dari para pejabat kolonial yang kebanyakan datang dengan status masih lajang itu digantikan perannya oleh orang Asia. “Nah, salah satunya, ya terjadi pada Nyai Dasima itu. Dia diambil oleh Tuan William dari sebuah perkebunan yang berada di pinggiran Jakarta, yakni Kampung Kuripan,’’ katanya.

Menurut Rizal, pada awalnya memang tidak ada orang Jawa yang menjadi nyai. Para perempuan ini didatangkan dari daerah kolonial lain, seperti India, Sulawesi, Filipina, juga Sulawesi dan Bali.

Mengapa demikian? Ini karena para pejabat VOC khawatir mereka akan terkena sabotase bila mempunyai gundik yang berasal dari Jawa.

Alhirnya, jangan terlalu heran bila hari-hari ini ada seorang berkulit putih dari Eropa (Belanda) ke sana kemari di Jakarta mencari keluarga ibu yang dahulu hidup bersama kakek buyutnya. Bahkan konon elit bangsawan Belanda ada juga berbau keturunan 'bini piara'. Hah...!?

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image