Islam Jawa 1950-an, Kisah Santri Minoritas Menjadi Mayoritas
Agak susah memang membayangkan perubahan yang dahsyat dalam penglamanan batin masyarat Islam di Jawa masa kini. Keadaanya sudah sangat jauh berbeda. Dan ini sempat disinggung sejarawan MC Rickles bahwa masyarakat Jawa kini sudah sangat dalam di dalam merasuk agama Islam, dan sepertinya sudah tertutup kemungkinan untuk kembali kemasa sebelumnya.
Dalam kajian perkembangan Islam masa kini banyak disebutkan berkat hadirnya modernisasi dalam berdakwah. Hal ini salah satunya seiring dengan maraknya media elektronik. Dahulu mempunya radio adalah sebuah kemewahan yang tidak dapat dinikmat oleh rakyat biasa, tapi kemudian radio menjadi barang yang lumrah. Lewat dakwah Islam menggunakan menggunakan media ini cukup berhasil. Kemudian di masa berikutnya media televise, dan kini media internet yang sangat mudah di dapat melalui sarana yang bernama handphone (Hp).
Jejak ini misalnya salah satunya ada di wilayah Piyungan, dekat Yogyakarta yang menuju arah Gunung Kidul. Di sana tak terbayangkan kampong itu menjadi motor penggerak Islam. Lembaga pendidikan, kesehatan, hingga keuangan berdiri di sana. Kampung ini yang dikenal akrab dengan perantau yang giat berjualan bakso ini berubah sangat kontral.
‘’Sampai ditahun awal 1980-an, ketika kami mengadakan pawai obor Takbiran menyambut lebaran, pawai sering dilempari penduduk. Tapi situasi ini berubah hanya dalam jangka waktu tak sampai sepuluh tahun. Ini tentu saja berkat cara berdakwah aktvis mahasiswa Islam yang menarik. Jadi jangan heran kalau di wilayah Gunung Kidul yang dahulu di kenal abangan, kini sudah menjadi wilayah santri. Bahkan bupatinya sempat seorang perempuan yang bergelar haji dan berkerudung. Perubahan luar biasa,’’ kata seorang aktivis Islam di Piyungan dalam sebuah perbincangan beberapa tahun lalu.
*****
Adanya fakta ini, sangat berbalikan dengan kenyataan kisah Islam di Jawa pada 1950-an. Dalam bukunya ‘Mengislamkan Jawa’ MC Ricklefs mengisahkan betapa kontrasnya situasi masa kini dengan masa lalu itu. Ricklefs menyatakan berdasarkan kajian dari amatan pada hasil pemilu umum 1955 diketahui masyarakat santri merupakan minoritas. Bahkan, hanya 10 dan 40 persen masyarakat Jawa merupakan kaum santri yang saleh dan taat. Sementara pada pertengahan 1950-an sekitar 60-90 persennya adalah kaum abangan.
‘’Sampai akhir buku ini ditulis (Mengislam Jawa,red) kita memang masih belum memiliki hasil survey sosial yang benar-benar terpercaya, tetapi kita akan melihat bahwa persentase tersebut (kini) berbalik, dan aliran (abangan) sendiri menemui akhirnya dan terkubur sebagai sebuah fenomena politik,’’ tulis MC Ricklefs.
Dan mengingat status kaum Jawa santri saat itu sebagai kelompok minoritas tidak mengejutkan bahwa ketika peneliti seperti Clifford Geerd dan sejawatnya yang pada kurun itu melakukan penelitian mereka di Pare (dekat Kediri), mereka sampai pada observasi yang luar biasa yang hanya beberapa dasawarsa kemudian akan menjadi sepenuhnya keliru. Geertz sempat menulis begini dalam bukunya ‘The Religion of Jawa’:
‘Sangat sulit, mengingat tradisi dan struktur sosialnya, bagi seorang Jawa untuk menjadi ‘Muslim yang sejati’ Allah yang asing, menakutkan dan menajubkan moralisme yang berta, serta ekskluvisme yang intoleran yang menjadi bagian yang amat penting dalam Islam sangat asing bagi cara pandang tradisional Jawa.
Nah, dalam hal ini Ricklef kemudian menanyakan dan ingin mencari tahu mengapa hasil pengamata Geertz itu – yang konsisten dengan fenomena sosial yang teramati pada waktunya – kemudian dalam beberapa dasa warsa saja demikan tidak tepat karena perubahan sosial politik. Dan politik ternyata adalah bagian yang penting dari cerita perubahan tersebut.
Salah satu indakasi lainnya perubahan sosial itu dalam soal ibadah haji. Smapai tahun 1950-an orang yang berangkat naik haji dari wilayah Jawa jauh lebih rendah, bahkan lebih rendah jumlahnya dari sebelum masa Perang Dunia II. Pada 1914, terdapat 1.006 jamaah haji yang berangkat dari wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura, sementara pada 1921 terdapat 15.036 jamaah. Walaupun jumahnya besar tersebut bukanlah suatu yang biasa, sebab secaralebih umum dapat dikatakan bahwa rata-rata jumlah jamaah haji dari wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura adaah 8.400 orang per tahun dan tidak pernah lebih rendah dari 5.000 orang.
Walaupun dasarwarsa 1950-an merupakan periode yang tidak terlalau baik dari sudut pandang ekonomi bagi masyarakat Jawa, sulit untuk menjelaskan turunnya jumlah jamaah haji atas dasar menurunnya tingkat kemakmuran di antara kaum santri, sebab dasarwarsa 1920-dan 1930-an kiranya lebih berat dari aspek yang satu ini (adanya krisis ekonomi besar dunia).
Adanya kenyataan itu, maka kemudian menjadi bahan pertanyaan berikutnya apakah penurunan jumlah jamaah haji ini mencerminkan berlurangnya jumlah masyaraat Jawa yang cukup saleh dan taat pada ajaran Islam untuk menjalankan ibadah haji atau bahkan tengaj terjad ‘deislamisasi’. Namun, kemudia juga ada jawabannya yang lain, yakni penurunan jumah jamaah haji di Jawa pada dasawarsa 1950-an yang itu juga sudah terjadi sebelum masa peran, dalam hal ini kiranya menunjukan penurunan pendapatan masyarakat Indonesia secara umum.
Adanya data yang diungkakan para peneliti asing mengenai penghayatan Islam di dalam benak orang Jawa pada decade 1950-an, di masa kini hampir tidak menyisakan bekas, kecuali satu saja yakni dalam soal pemilihan partai politik.
Fakta ini mengutip amatan politisi Golkar dan salah satu ketua PP Muhammadiyah yang kini menjadi duta besar RI di Lebanon, Hajriyanto Yasin Tohari, dia sempat mengatakan memang warna batin orang Jawa kini sudah hijau (santri), berbeda dengan masa lalu yang didominasi warna merah (abangan).
’Tapi uniknya, berbeda dengan warna keagamaannya, warna pilihan partainya masih tetap ‘merah’, yakni PDIP. Dan itulah kenyataannya, Entah kapan akan berubah afliasi politisnya menjadi arna yang hijau atau lebih Islamis,’’ kata Hajiryanto sembari terkekeh.
Dan harus diakui situasi itu ada benarnya. Dalam soal jumlah jamaah haji misalnya dari wilayah Jawa masa kini kenaikannya sangat berlipat-lipat. Amatan sampai awal 1980-an, sebuah kota kecil yang berada di Jawa pedalaman (pesesir selatan), jumlah naik haji berkisar hanya puluhan saja. (lihat tabel di bawah soal jamaah haji dari wilayah-wilayah yang penduduknya berbahasa Jawa)
Alhasil, pada setiap tahun, kesannya orang Jawa yang naik haji seperti orang berdarmawisata ke tempat yang dekat saja. Para penduduk desa di Jawa kini sudah lazim pergi haji secara berombongan. Dan ini masuk akal sebab secara keseluruhan jumlah calon amaah haji di Indonesia kini sudah mencapai lebih 2,5 juta orang. Mereka menunggu berangkat ke tanah suci hingga dua puluh tahun lebih.