Kisah DR Mulyadi di Merauke Tentang Anak Milyuner Amerika Rockefeller Hilang di Pedalaman Papua
Sudah lebih dari setengah abad keluarga milyuner Amerika Nelson Aldrich Rockefeller menunggu kepastian jasad putranya bernama Michael Clark Rockefeller yang hilang di pantai Asmat-Papua. Bayangkan saja sejak dinyatakan hilang secara misterius pada 19 Nopember 1961, hingga sekarang tidak ditemukan jejaknya sepotong pun
Akibatnya, karena misteriusnya kasus tersebut, kemisteriusan kasus itu telah dinobatkan sebagai "Lima Misteri Dunia". Bayangkan hilangnya Michel Clark ini menyanyi kisah yang menjadi legenda lainnya, misalnya pulau Atlantis yang disebutkan oleh Plato, misteri nenek moyang penduduk Madagaskar adalah orang Indonesia, penemuan bahtera Nabi Nuh di atas gunung Ararat-Turki, serta penemuan balok karet bertuliskan "Tjipetir" di beberapa pantai dunia yang diduga milik kapal perang atau Titanic yang tenggelam di zaman lampau. Ternyata Tjipetir diketahui sebagai nama sebuah pabrik dan perkebunan karet di Sukabumi.
Pertanyaan yang terus berkelindan, Apakah alumni Harvard University itu masih hidup atau memang sudah tewas? Padahal sang ayah -- saat itu menjabat sebagai Gubernur New York, telah menyewa Boeing 707, helikopter, kapal patroli yang melibatkan tentara Amerika terlatih, Mereka pun telah mengerahkan ribuan penduduk setempat untuk mencari Michael sang pewaris kekayaannya. Selama sepuluh hari pencarian yang melelahkan, akhirnya perburuan dihentikan. Hasilnya nihil.
Mendengar hilangnya anak bungsu kesayangan pewaris perusahaan minyak Exxon, Mobil, dan Chevron ini saat itu sontak menjadi headlinemedia massa dan menggemparkan dunia. Beberapa lembaga dan perorangan melakukan perburuan dan penyelidikan ke Papua. Timbullah beberapa spekulasi tentang keberadaan Michael Rockefeller.
Mulai dari mati tenggelam karena kelelahan, dimakan oleh binatang buas seperti buaya dan ikan hiu, dibunuh atau dimangsa oleh suku-suku kanibal sekitar Asmat. Terakhir, pada tahun 2008 terkuak dalam sebuah film dokumenter yang tersimpan dalam gudang yang dilansir oleh Dailymail pada 10 Februari 2015 lalu. Dalam sine yang singkat menampakkan seorang berkulit putih berjenggot di antara pendayung perahu kano yang seluruhnya berkulit hitam.
Tentu dari beberapa temuan dan argumen tersebut belum meyakinkan dan memuaskan keluarga Nelson Rockefeller yang kemudian menjadi Wakil Presiden Amerika era Gerald Ford ini. Karena dari berbagai temuan dibantah oleh beberapa pihak karena belum menemukan bukti secara ilmiah dan saksi mata yang valid. Demikian misterinya.
Benang Merah dari Buku Tua
Bagaimana hingga hilangnya Michel tersebut? Dalam tulisan ini ada yang menarik ditelusuri dalam sebuah buku yang diterbitkan Juli 1980, ditulis oleh Irham MC. Sepertinya ada perbedaan peristiwa yang bisa dihubung-hubungkan dengan temuan atau penulis-penulis lainnya. Sehingga teka-teki hilangnya anak Presiden Direktur Chase Manhattan Bank ini bisa nampak benang merahnya.
Dalam buku yang berjudul "MANSREN KORERI Mengenal Beberapa Suku dan Cerita Rakyat Irian Jaya" yang diterbitkan oleh Binacipta diawali dengan surat yang dikirim Michael Clark Rockefeller pada tanggal 4 Oktober 1961 sebelum peristiwa itu terjadi. Diceritakan bahwa dalam kondisi dingin dan gelap dia sangat senang berada di tengah suku Asmat yang terbelakang, kaya dengan tradisi dan seni ukir. Mereka hidup sebagai pengayau dengan kondisi alam sungai dan lumpur, tidak kerikil dan batu sedikit pun. Surat tersebut ditujukan kepada keluarganya di New York Amerika.
Disebutkan, awalnya Michael di Papua tergabung dalam rombongan ekspedisi Harvard Peabody Expedition yang melakukan penelitian tentang kehidupan orang-orang Dani, di Lembah Baliem Pegunungan Jayawijaya pada bulan Maret 1961. Ia bertugas sebagai fotografer merangkap soundtehnician. Dari sanalah pemuda berkacamata ini mendapat informasi tentang seni ukir Asmat. Ia sangat tertarik dan ingin melihat langsung karya manusia peradaban batu itu. Oleh karenanya Michael dan Samuel Putnam teman kuliahnya di Harvard University meninggalkan sementara tim menuju ke arah selatan tempat tinggal suku-suku Asmat.
Selama tiga minggu pada bulan Juni dan Juli mereka menjelajahi sebagian wilayah Asmat untuk mengumpulkan patung dan ukiran-ukiran. Dua pemuda Amerika itu memusatkan kegiatannya di Kampung Amanamkai yang berada di bibir sungai pinggir anak sungai Awor yang bermuara di sungai As. Di sana bertemu dengan Dr Andrean Gerbrand Asisten Direktur Rijkmuseum voor Volkenkunde Leiden yang sudah beberapa lama tinggal di kampung tersebut. Bergabunglah Dr Gerbrand dan Rene S Wassing dari Biro Pemerintahan Belanda di Jayapura (Hollandia) bersama kedua petualang mahasiswa itu menggunakan perahu menjelajahi kampung-kampung sekitarnya.
Pada tanggal 10 Juli 1961 kedua petualang idealis itu meninggalkan Asmat kembali bergabung dengan Harvard Peabody Expedition di Baliem, yang bekerja hingga awal September, dan kembali ke Amerika karena ekspedisi dianggap selesai.
Sendiri Kembali ke Asmat
Eh...tidak sampai satu bulan bertemu dengan keluarganya, Michael Rockefeller kembali ke Asmat Papua pada akhir September 1961 untuk misi khusus membuat dokumentasi dan koleksi Museum Primitif Art New York.
Pada awalnya menjelajahi kampung-kampung di ujung sungai-sungai yang mendekati pantai. Kurang lebih dua bulan menggunakan perahu selit yang diberi mesin tempel. Pada pertengahan Nopember tahun yang sama ia mengarah ke laut, melintasi muara sungai Betay, tidak jauh dari Kampung Otsyanep yang terkenal ganas.
Dalam tulisan Ircham MC yang diberi judul "Seorang petualang yang hilang secara misterius" juga mengutip buku The Asmat oleh Robert Goldwater dari Museum Primitif Art New York yang menyatakan Rockefeller lenyap di muara sungai Betsy karena perahunya terbalik oleh arus air pasang yang ganas, yakni tanggal 12 Nopember 1961(?). Berbeda dengan tanggal-tanggal penulis yang lain yaitu 19 Nopember 1961. Perbedaan tanggal, tujuh hari ini perlu ditelusuri kebenarannya.
Namun dari keterangan yang diperoleh dari orang-orang yang sudah lama tinggal di Asmat sangat meragukan dan membantah informasi tersebut. Masyarakat di sana menyebutkan bahwa ia telah ditangkap dan dibunuh di Otsyanep. Sumber yang lain secara rinci menceritakan bahwa anak kelima Gubernur New York itu ketika mengarungi sungai menuju laut untuk menjelajahi kampung-kampung pantai, di laut dekat Otsyanep, mesin motornya mati, rusak tidak mau hidup lagi.
Ketika itu dia membawa dua orang pemandu warga setempat (nama keduanya belum terungkap). Salah satu disuruh berenang ke darat untuk mencari bantuan, namun tidak kembali-kembali. Pembantu yang satu disuruh menyusul teman yang tidak kembali, namun hal yang sama orangnya tidak kembali.
Antara Tenggelam, Ditelan Buaya, Ditangkap dan Dibunuh?
Akhirnya Michael memutuskan untuk berenang ke darat. Versi lain dari Ikepedia.org selain dua orang lokal juga ditemani oleh antropolog asal Belanda Ren Wassing. Jarak pantai dengan lokasi perahu terbalik dan tenggelam sekitar 3 mil (5 kilometer). Terombang-ambing di laut selatan dibawa arus hingga berjarak 12 mil (19 km).
Rockefeller kepada Rene Wassing sempat mengatakan, "Saya rasa, saya bisa membuatnya," dan dia bergegas berenang ke pantai dengan menggunakan jerigen sebagai pelampung. Boleh jadi Rockefeller meninggal karena kelelahan dan teggelam ketika berenang dengan jarak yang sangat jauh itu.
Keesokan harinya Wassing berhasil diselamatkan, sementara Rockefeller tidak pernah terlihat lagi, meski usaha pencariannya intensif dan panjang oleh tim yang diutus oleh orang tuanya. Hilangnya Rockefeller adalah berita utama dunia. Mayatnya tidak pernah ditemukan. Secara hukum Amerika dia dinyatakan meninggal tanpa ditemukan jenazahnya pada tahun 1964.
Ada spekulasi yang menyebutkan bahwa anak wakil preseden Amerika itu tewas dimangsa buaya atau ikan hiu di pantai selatan Papua. Kalau demikian kejadiannya kenapa Rene Wassing selamat hingga ke darat? Sejauh fmana pendalaman peristiwa dari sahabat Belanda tersebut? Dan, bagaimana keberadaan dua orang pemandu warga Asmat itu? Belum ada tulisan yang mengungkap.
Selanjutnya, sampai di darat ia disambut oleh serombongan penduduk pribumi yang memiliki kebiasaan kanibal kepada setiap musuh-musuhnya. Memang, enam bulan sebelumnya seorang polisi Belanda pernah mengeksekusi hukuman mati penduduk lokal di wilayah tersebut. Ketika Michael Rockefeller muncul dari dalam laut menggunakan kemeja biru dan celana pendek warna putih, langsung ditangkap dan dibunuh sebagai obyek balas dendam kepada polisi Belanda tadi.
Tentang Mechael Rockefeller yang masih berusia 23 tahun itu ditangkap dan dibunuh oleh suku-suku kanibal Asmat dapat dibantah dengan argumen riil peristiwa tahun 1960-an, bahwa tidak pernah terjadi warga kulit putih atau orang barat yang datang ke Papua diperlakukan dengan tindakan kekerasan apalagi dibunuh. Semenjak kedatangan dua misionaris Jerman Ottow-Geissler 5 Februari 1855, antropolog, peneliti biologi, pendeta, pastur, guru, dan orang berkulit putih lainnya berkeliaran di Papua tanpa ada gangguan, dan budaya pengayau (kanibal) dan perang antar suku sudah berkurang. Justru orang berkulit putih dianggap dewa penyelamat yang datang membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi orang Papua, yang disebut cargo cultyang sangat diyakininya.
Muncul Sosok Kulit Putih dan Berjenggot
Benarkah demikian? Pejabat Belanda di Papua menduga bahwa Michael Rockefeller telah tenggelam. Rumor tersebut bertahan hingga tahun 1968, membuat Milt Machlin Editor Majalah New York terbang ke Papua untuk melakukan investigasi berbulan-bulan. Dia bertemu dengan seorang pensiun tentara Belanda yang terakhir menjadi misionaris di Papua bernama Cornelius van Kessel yang sudah tinggal bersama dengan suku Asmat ketika peristiwa itu terjadi. Pendeta itu bercerita bahwa seminggu setelah pencarian Mechael Rockefeller dinyatakan berhenti, ada desas-desus orang Amerika itu telah ditangkap dan dibunuh. Sama seperti isu-isu sebelumnya.
Namun pendapat itu dibantah oleh pejabat Belanda lainnya bahwa informasi dari sang misionaris tidak bisa diandalkan. Milt Machlin belum mampu menemukan kebenaran peristiwa yang sangat menggemparkan dunia itu. Karena masa tinggalnya berakhir dia kembali ke Amerika dan mengutus fotografer dan kameramen, Malcolm Kirk untuk melanjutkan penyidikan disertai dengan pengambilan gambar ke Papua.
Dari hasil shooting film Kirk-lah terungkap sosok kulit putih berjenggot sedang naik kano atau perahu khas Asmat bersama beberapa orang Asmat. Ternyata rekaman dalam bentuk film telah disimpan oleh Milt Machlin selama 40 tahun kemudian ditemukan dipublikasikan oleh Fraser Heston putra aktor Charlton Heston.
Film dokumenter itu diberi judul The Search For Michael Rockefeller diteliti berdasarkan buku Milt Machlin tentang hilangnya Rockefeller di Papua. Benarkah orang putih berjenggot dalam rekaman itu Michael Rockefeller? Ada yang membenarkan karena jarang orang Papua berkulit putih dan berjenggot panjang seperti nampak dalam film sekilas tersebut. Michael Rockefeler telah menyerahkan jiwa dan raganya untuk bergabung dan mengabdikan diri dengan orang-orang Asmat yang digelutinya.
Pihak yang berseberangan menyebutkan bahwa orang-orang Papua juga ada orang berkulit putih albino yang sulit dibedakan dengan orang Eropa.
Hingga Berita Hoax
Masih dalam buku yang ditulis Ircham MC. Tersebarnya peristiwa tersebut ke seluruh dunia, pada tahun 1972 sebuah tim TV Jerman yang dipimpin Peter Knipp mengunjungi Papua untuk membuat film pariwisata tentang Muang Thai, Indonesia dan khususnya Papua. Sampai di Papua dia mengirim berita kepada Bangkok Post bahwa ia telah menemukan kerangka Michael, dan segera membawa tulang belulang itu ke keluarga Rockefeller di New York.
Peter Knipp pemimpin tim bercerita tentang perjalanannya hingga sampai ke Asmat. Dari Biak terbang menggunakan pesawat DC-3 ke Jayapura, selanjutnya menggunakan Twin Otter ke Wamena. Dia berjalan kaki dari Wamena menyeberangi sungai Baliem dengan melibatkan 15 orang lokal untuk membawa perlengkapan kameranya.
Setelah 12 jam berjalan sampai di sebuah rumah missi Katolik di Jevaka. Kepada pastur Kamp orang Belanda, Knipp memberi hadiah minuman wishki agar mau mengungkap misteri kehilangan tersebut. Pastor itu mulai buka mulut tentang Michael yang disebutnya sebagai bandit, karena Michael mencoba membeli barang-barang antik dari penduduk pribumi dengan sepucuk senjata, untuk memaksa penduduk menjualnya.
Diceritakan bahwa pimpinan tim TV itu bersama pastur pergi ke lokasi peristiwa tersebut. Pastur meminta kepada penduduk di sana menunjukkan tulang-tulang Michael yang telah dikuburkan. "Kami memberikan dua pisau lipat, lima korek api gas, dan dua lilin Jerman sebagai pengganti tengkorak dan tujuh potong tulang," ungkap Peter Knipp kepada Bangkok Post. Benarkah cerita tersebut? Menurut Ircham sang penulis buku tersebut Peter Knipp hanya membuat sensasi dan berbohong.
***
Andaikan Michael Clark Rockefeller masih hidup dan berada di tengah pedalaman Papua seperti seperti cita-cita sebelumnya, maka dia sudah berumur senjah; punya anak, cucu, dan cicit. Kalaupun dia meninggal dunia, di manakah jasadnya terkubur? Tentu putra Rockefeller di Amerika belum menutup buku pencahariannya, menunggu siapa yang membawa berita gembira dan membuktikan misteri menjadi kenyataan. Tentu sudah siap uang jutaan dolar dan berapapun besarnya. Limah puluh enam tahun menunggu tanpa bosan, walaupun ada yang menyebarkan berita hoax.
Memang dunia ini penuh misteri, banyak yang belum diungkap oleh manusia biasa yang serba terbatas. Atau memang sudah menjadi rahasia Ilahi. Semoga.
* DR Mulyadi Djaya (Dosen Universitas Negeri Papua di Manokwari) dan pengurus Muhammadiyah di Papua Barat.