Lewat Prangko Jendral Sudirman, Ukraina Ingatkan Utang Indonesia Kepada Dmitry Manuilsky
Sekujur negeri terperangah ketika Ukraina menerbitkan prangko bergambar Jenderal Sudirman. Vasyl Hamianin, dubes Ukraina di Jakarta, mengatakan prangko itu diterbitkan karena terinspirasi kepahlawanan Jenderal Sudirman melawan penjajah.
Sebenarnya ada pesan tak terungkap dari penerbitan prangko itu, yaitu Ukraina sedang mengingatkan kita bahwa Republik Indonesia pernah berutang kepada seorang diplomat bernama Dmitriy Manuilsky.
RSS Ukraina dan Manuilsky
Usai Perang Dunia II, beberapa amandemen Konstitusi Republik Soviet Sosialis (RSS) Ukraina disahkan. RSS Ukraina diperbolehkan bertindak sebagai negara berdaulat dalam hukum internasional untuk beberapa kasus, dan dalam batasan tertentu berada sebagai bagian Uni Soviet.
Amandemen ini memungkinkan RSS Ukraina menjadi salah satu pendiri dan anggota PBB bersama Uni Soviet dan RSS Byelorusia. Semua ini adalah bagian dari kesepakatan dengan AS untuk memastikan keseimbangan di Majelis Umum PBB.
Sebelumnya Uni Soviet melihat terjadi ketidak-seimbangan di Majelis Umum PBB, dengan banyak negara condong ke Barat. Sebagai anggota PBB, Ukraina terpilih untuk duduk di Dewan Keamanan PBB 1948-1949 dan 1984-1985.
Antara 1944-1952, RSS Ukraina menempatkan Dimitri Minuilsky sebagai ketua utusan di PBB. Namun Wikipedia menulis posisi Minuilsky saat itu adalah menteri luar negeri Ukraina. Minuilsky menjadi dubes Ukraina di PBB tahun 1952-1953.
Pada 21 Januari 1946, ketua utusan Republik Soviet Sosialis Ukraina di PBB Dmitry Manuilsky mengajukan masalah Indonesia ke Dewan Keamanan PBB. Dalam suratnya, Manuilsky menulis keadaan di Indonesia membahayakan perdamaian dan keamanan dunia.
Empat hari setelah Manuilsky menulis surat itu, Sidang Umum PBB digelar. Manuilsky mengangkat masalah Indonesia dalam pidatonya, dan mendapat dukungan dari utusan AS Edward Stettinus dan utusan Mesir Hamid Badawy Pasha.
Pada Sidang DK PBB selama enam hari; 7, 9-13 Februari 1946, pembahasan masalah Indonesia berlangsung alot. Belanda mengerahkan semua diplomatnya untuk melobi banyak negara agar tidak mendukung gagasan Manuilsky.
Manuilsky tetap pada pendapatnya bahwa Indonesia dalam keadaan bahaya, dan PBB harus campur tangan. Upaya Manuilsky tidak membuahkan hasil instan, tapi dia terus mengangkat masalah Indonesia.
Pada 1 Agustus 1947, setelah Agresi Militer Belanda Pertama 21 Juli 1947, PBB mengeluarkan resolusi yang isinya menyeru kepada Indonesia dan Belanda melakukan gencatan senjata, dan menyelesaikan masalah dengan komisi arbitrase atau cara lainnya.
Dua pekan kemudian, tepatnya 14 Agutus 1947, perjuangan Manuilsky untuk Indonesia terwujud. DK PBB bersidang di Lake Success, New York, dengan agenda masalah Indonesia dan Belanda, serta Agresi Militer Belanda I.
Sidang menghasilkan dua keputusan. Pertama, Indonesia diwajibkan membuat laporan sesungguhnya tentang keadaan di Indonesia. Kedua, pembentukan Komisi Tiga Negara (KTN) yang akan memberikan jasa-jasa baik untuk penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda.
Presiden Soekarno menyampaikan terima kasih kepada Ukraina, dengan memobilisasi rakyat untuk berparade di jalanan. Pada 4 Februari 1946, rakyat Indonesia menggelar Pawai Terima Kasih Ukraina, Terima Kasih Manuilsky, di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya.
Setelah pembentukan Komisi Tiga Negara (KTN) oleh PBB, Ukraina dan Manuilsky seolah terlupa. Penjelasan atas semua ini bisa sangat beragam. Salah satunya, jika melihat komposisi Komisi Tiga Negara (KTN), Barat sepenuhnya mengambil alih penyelesaian masalah Indonesia di forum PBB. Blok Timur menjadi tidak memainkan peran.
Lebih dari itu, Ukraina saat itu bukan negara berdaulat penuh di forum internasional, yang membuat perannya di masa lalu menjadi tidak diperhitungkan sama sekali.
Takdir Ukraina
Sebelum Uni Soviet secara resmi bubar, Ukraina adalah satu dari sedikit republik yang berusaha lepas dan menjadi negara merdeka. Tahun 1990, misalnya, 300 ribu orang membentuk rantai manusia antara Kiev dan Lviv untuk menyatakan kemerdekaan.
Ukraina secara resmi menyatakan kemerdekaan pada 24 Agustus 1991 setelah parlemen menyatakan hukum Uni Soviet tidak berlaku lagi di negeri yang melahirkan komposer Pyotr Illich Tchaikovsky. Pada 1 Desember 1991, kemerdekaan diformalkan lewat referendum dengan 90 persen penduduk setuju pisah dari Uni Soviet.
Menariknya, dua gerakan politik itu tidak benar-benar memisahkan Ukraina dari Uni Soviet. Ukraina seolah harus membubarkan Uni Soviet untuk benar-benar merdeka.
Bersama Presiden Rusia Boris Yeltsin dan Presiden Belarusia Stanislav Stanislavovich Shushkyevich, Presiden Ukraina Leonid Kravchuk pada 8 Desember 1991 menyatakan Uni Soviet tidak ada lagi sebagai subyek hukum internasional dan realitas geopolitik.
Pernyataan inilah yang mendorong Mikhail Gorbachev menyatakan Uni Soviet bubar, dan bendera merah dengan palu arit di sudut diturunkan dari Kremlin. Sejak saat itulah Ukraina benar-benar menjadi negara merdeka.
Ukraina memang merdeka, tapi seolah tak bisa lepas dari takdir sejarah sebagai negara yang tak bisa lepas dari orbit Rusia. Saat Rusia dipimpin Yekaterina yang Agung, Ukraina dicaplok habis.
Tahun 1917, ketika Rusia diguncang Revolusi Bolshevik, Ukraina memulai perang kemerdekaan. Yang terjadi adalah pembentukan Republik Soviet Sosialis Ukraina dan menjadi bagian Uni Soviet.
Kini, Ukraina yang merdeka mengembangkan mazhab Ukrainofilia. Ukraina membuang semua pengaruh Rusia dalam dirinya; bahasa, budaya, dan tradisi, dan berjuang membangun identitasnya. Di bidang politik luar negeri, Ukraina cenderung berkiblat ke Barat dan berusaha lepas dari orbit Rusia.
Rusia tidak bisa membiarkan semua itu terjadi. Moskwa di bawah Vladimir Putin, yang terobsesi kembali ke Imperium Uni Soviet, menolak halaman belakangnya di bawah pengaruh Barat. Ukraina harus tetap tunduk di bawah Moskwa seperti diperlihatkan Kazakhstan dan Belarusia.
Ukraina sedang melawan takdirnya dan butuh dukungan diplomatis dari banyak negara di dunia. Salah satunya Indonesia. Lewat perangko bergambar Jenderal Sudirkan yang diterbitkan Ukraina, Kiev mengingatkan kita ada hutang diplomatik Indonesia kepada Ukraina yang belum terbayar.
*** Artikel ini ditulis Teguh Setiawan, Jurnalis Senior mantan wartawan Republika