Janissari, Legiun Pasukan Khusus Kekhalifahan Ottoman dari Anak Yatim
Sudah seharusnya memang anak-anak merasakan kegembiraan. Karena dunia anak adalah dunia bermain dan hanya sebentar. Semuanya akan segera berlalu dan berganti dengan beragam tanggung jawab.
Dalam banyak riwayat disebutkan bagaimana kecintaan Rasulullah SAW pada anak-anak. Terlebih anak yatim. Bahkan mereka yang menyantuninya akan mendapat tempat istimewa di surga. Begitu dekatnya dengan Rasulullah SAW hingga diibaratkan selekat jari telunjuk dan jari tengah.
Begitupun yang dicontohkan daulah Islam. Teristimewa adalah yang dilakukan Daulah Utsmani (Barat menyebut Otoman), terhadap anak-anak yatim korban peperangan. Tidak seperti kebiasaan pasukan Eropa yang membunuh para tawanan perang dan laki-laki yang mereka temui di daerah taklukan, Sultan Murad I (1326-1389 M) dari Daulah Utsmani mempunyai ide jenius.
Ia menolong anak-anak laki-laki yang menjadi yatim dan terlantar karena orangtuanya menjadi korban perang dari wilayah yang berhasil dibebaskan. Bayangkan, ini anak laki-laki musuh ya. Mereka direkrut dan dilatih menjadi pasukan andal. Pasukan elite ini diberi nama Inkisyariyah (Janissari).
Anak-anak yang kemudian menjadi taruna muda ini menjalani pendidikan militer di sekolah terbaik (Acemi Oglan) khusus Janissari di Enderun. Mereka dibagi sesuai bakat keilmuannya, seperti ahli strategi perang, pemanah, artileri, ahli senapan, hingga insinyur, seniman, dan ulama.
Selama delapan tahun mereka dilatih mental dan fisik. Teknis memanah, bermain pedang, menunggang kuda, gulat, angkat besi, hingga menggunakan senjata api.
Pasukan ini kemudian menjadi sangat loyal. Karena ditempa sejak kecil dan mendapat cahaya hidayah di tempat itu.
Tidak ada pemaksaan untuk memeluk agama Islam. Namun dengan kesadaran sendiri, mereka berbondong-bondong memilih mengucap kalimat Tauhid.Setelah itu, baru mereka mendapat pendidikan agama yang kuat. Para ulama ditempatkan di barak-barak, di antara prajurit.
Tujuannya untuk menjaga lurusnya niat dan kedekatan pada Yang Maha Memberi Kemenangan. Pengondisian seperti ini tidak ayal membuat pasukan Janissari menjadi tidak ada yang menandingi.
Tidak hanya pembagian pasukan berdasar fungsinya yang tertata rapi. Jenjang karier pasukan pun jelas. Prajurit yang berprestasi akan mendapat kenaikan pangkat yang sesuai.
Kehebatan mereka ini sering digambarkan dengan kemampuan bertempur sekalipun dalam keadaan matanya tertutup. Mereka tetap bisa memanah dan melemparkan tombak tepat sasaran.
Pasukan ini dipimpin oleh seorang jenderal yang disebut Aga. Aga memimpin beberapa brigade, seperti brigade Cemaat (pasukan depan); brigade Boluk (pengawal sultan); dan brigade Sekban. Masing-masing brigade terdiri dari beberapa orta atau batalion yang dipimpin seorang Corbaci atau kolonel.
Semasa Sultan Murad I kekuasaan Daulah Utsmani sampai ke wilayah Balkan, Andrianopel (yang sekarang bernama Edirne, Turki), Macedonia, Sofia (Bulgaria), serta seluruh wilayah Yunani.Di tangan penerusnya, Sultan Bayazid I, pasukan ini berhasil merebut benteng Philadelphia dan Gramania atau Kirman (Iran).
Pada saat membebaskan Konstantinopel, jumlah pasukan Janissari kurang lebih 165–196 orta atau sekitar 10.000–12.000 pasukan. Sultan Muhammad Al-Fatih sendiri acap kali mengimami pasukan ini untuk shalat berjamaah. Dalam khotbah Jumatnya, dia selalu mengingatkan nubuat Rasulullah SAW akan kemuliaan pasukan yang bisa membebaskan Konstantinopel.
Banyak fitnah yang dihembuskan atas keberadaan pasukan elite ini. Barat menggambarkan kalau anak laki-laki ini diculik dan dirampas dari keluarga-keluarga mereka untuk dijadikan pasukan berani mati. Pun mereka dipaksa meninggalkan agamanya dan beralih menjadi Islam. Tentu saja itu tidak benar!
Yang terjadi justru banyak keluarga suka rela menyerahkan anak laki-lakinya untuk bergabung dengan pasukan Utsmani. Sekalipun pasukan ini sudah tidak ada lagi, namun “sisa” kehebatannya masih bisa disaksikan hingga kini.
Bila beruntung, pada kesempatan tertentu pengunjung Topkapi Sarayi bisa menyaksikan upacara pasukan Janissari. Meski upacara ini sekarang sekadar pertunjukan budaya. Namun kegemilangannya masih dirasakan oleh siapa saja yang menyaksikannya.
* Penulis: Uttiek M Panji Astuti, penulis dan traveller