Agama

Kekuasaan dan Agama: Kisah Pendirian Gereja di Jawa Sebelum dan Sesudah Masa Perang DIponegoro

Suasana majid besar Kauman pada tahun 1880.
Suasana majid besar Kauman pada tahun 1880.

Tampaknya sudah dari ‘sononya’ perjumpaan Islam dan Kristen selalu diwarnai ketegangan, bahkan kerapkali memicu konflik peperangan. Ini terlihat jelas ketika dua penganut agama ini berjumpa, terutama dalam perebutan wilayah penting dan suci, misalnya terkait dalam perang Salib.

Umat Islam mengingat betul betapa beda perlakuan antara pasukan Islam ketika menaklukan Yerusalem dengan perlakuan tentara Salib ketika menaklukan Konstantinopel. Umar bin Khatab dan Salahudin Al Ayubi ketika menakluan Yerusalem tetap dengan lapang dada tidak mengganggu gereja dan umat Kristiani.

Keadaan ini berbalik 180 derajat ketika tentara Salib menguasai Andalusia di Spanyol di mana mereka mengusir orang Muslim dan Yahudi yang selama ini tinggal rukun dan damai bersama mereka. Pihak penguasa saat yang didukung gereja saat itu meninatahkan kepada warga taklukan, Kalau tidak dan ingin tetap tinggal di kota itu, maka mereka harus mengganti agamanya dengan menganut agama Katolik.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sebagai imbas keputusan politikk tu, maka sebagain warganya ada yang memilih tinggal seraya meng-konversi agamanya. Sementara yang memilih atau keluar dari Spanyol untuk mempertaankan keyakinannya, mengungsi ke banyak wilayah. Dan mereka inilah yang kemudian disebut sebagai orang ‘Moor’ atau Moro.

Luka akibat Perang Salib terbawa hingga ke Nusantara. Ini tampak jelas ketika menyimak catatan perjalanan para pengelana Portugis ketika menjejakan kakinya pertama kali di pulau rempah Maluku. Para pelaut yang sebagian diantara mereka adalah penyebar agama Kristen kaget, karena mereka menjumpai para haji yang berasal dari Makkah berada dan hidup bersama masyarakat yang ada di tempat yang terpencil itu. Atas situasi ini, bila menyimak berbagai peperangan yang kemudian berkobar di wilayah itu, ada yang menyebut ‘perang salib’ berlanjut di kawasan Maluku.

Lalu bagaimana suasana persaingan penyebaran dua agama itu di Jawa? Situasinya tak jauh berbeda. Baku hantam antara dua kelompok penganut agama ini muncul secara nyata, misalnya dalam penaklukan Batavia oleh Fatahillah atau penyerbuan Pati Unus ke Malaka pada 1511. Pada penyerbuan Jakarta pasukan santri menang. Namun, pada penyerbuan Pati Unus yang membawa ribuan kapal ke Malaka ganti pasukan santri mengalami kekalahan.

Dan, ketegangan hubungan dua penganut agama ini terus berlanjut hingga zaman Dinasti Mataram. Kedua kelompok jatuh bangun, menang dan kalah. Namun, Islam yang lebih dahulu masuk je Jawa lebih banyak berada dalam posisi bertahan ketika menghadapi penetrasi kekuatan Kristen yang terus merangsek bersamaan dengan makin solidnya kekuatan penjajah barat di Jawa yang kemudian menjadi ‘pusat’ koloni’ yang disebut Hindia Belanda.

Namun di sini harus dicatat. Meski ada ketegangan bahkan perang antara kedua penganut ini –orang Islam Jawa menyebut penjajahnya sebagai kaum kafir—namun saat itu tidak ada cerita soal keributan pendirian gereja.Ketegangan baru muncul di dalam waktu lebih belakangan, yakni tepatnya seusai berakhirnya Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830).

Mengapa demikian? Jawabnya ketegangan jelas terjadi seusai hadirnya perubahan besar dalan lanskap politik kekuasaan di kerajaan Jawa, yakni hadirnya Perang Jawa atau Perang Diponegoro. Sebelum masa itu kerajaan di Jawa benar-benar mandiri. Para kerajaan ini pun secara terbuka menyatakan diri sebagai kerajaan Islam.

Bahkan secara nyata para Sultan di Jawa (misalnya Kerajaan Mataram di Jogja dan Surakarta) menyebut dirinya sebagai pelindung umat dan penjaga ajaran Islam. Dan pada saat itu pihak kolonial yang tahu posisi dirinya masih lemah, tidak mau menfasilitasi penyebaran agama Kristen karena menganggap: hanya akan meletupkan perang dan kebencian saja kepada mereka!

Maka jangan heran sebelum kurun 1830, atau sebelum Pangeran Diponegoro mengalami kekalahan, tak ada gereja berdiri di tanah atau silayah kerajaan di Jawa. Di Kasultanan Yogkakarta misalnya wilayah kerajaan malah ditandai dengan berdirinya ‘Masjid Pathok Nagari’, yang artinya masjid menjadi batas wilayah dan kekuatan spiritual kerajaan itu sebagai sebuah Kasultanan (Kerajaan Islam).

Tapi seiring kekalahan Diponegoro, dan mulai berjalannnya proyek ‘pemiskinan serta penghisapan’ massal rakyat Jawa melalui Tanam Paksa, terjadi perubahan sikap pemerintah terhadap penyebaran agama Kristen(Nasrani dan Katolik). Bila sebelumya pemerintah kolonial Belanda tidak ikut campur atau tidak mendorong penyebaran agama Kristen, kini pemerintah kolonial Belanda mempesilahkan atau bahkan mendukungnya.

Perubahan kebijakan ini tampaknya terjadi ketika Pemerintah Kolonial mulai merasa dirinya ‘mampu menguasi keadaan’ karena perlawanan kaum Muslim sudah berhasil dipatahkan. Maka tidak mengheranakan, secara perlahan daerah kerajaan (vorstenlanden) di Jawa yang tadinya hanya boleh didirikan masjid, mulai saat itu satu persatua mulai munculah bangunan gereja.

Meski pendirian gereja kini mulai longgar, namun saat itu penyebaran agama Nasrani belum banyak bisa menarik orang Jawa. Namun situasinya mulai berubah ketika kehidupan rakyat Jawa semakin miskin dan seolah tak bisa keluar dari penderitaan yang diakibatkan oleh proyek Tanam Paksa yang digagas Van den Bosch itu. Apalagi akibat tanam paksa tercatat sangat memkan korban hingga menwaskan lebih ¼ penduduk yang tinggal di Jawa.

Sebagai akibatnya, karena merasa tersia-sia dn terpinggirkan, orang Jawa pun tak tertarik dengan ide kepercayaan ala orang kulit putih Eropa yang nota bene sebangsa dengan penjajahnya. Imbasnya dapat mudah ditebak, misi yang dilakukan oleh para penyebar ajaran Kristen yang dilakukan oleh orang Eropa tersebut, bisa dikatakan gagal total. Pribumi Jawa yang masuk Kristen hanya beberapa orang saja!

Namun situasi kebuntuan tersebut, mulai berubah dengan hadirnya penyebar agama Kristen asal Jawa yang tinggal di Karangjasa, Purworejo, Kiai Sadrach, lengkapnya Radin Abas Sadrach Surapranata (lahir tahun di Demak 1835 – meninggal di Purworejo 1924).

Meski sempat dianggap melakukan sinkritisme terhadap ajaran Kristen dengan budaya Jawa, penginjil pribumi hasil dididikan penginjil asing Hoezoo ini sukses menyebarkan agama Kristen di kalangan penduduk Jawa. Ajaran Kristen dibawanya ‘lebih kepinggir’ mendekati adat lokal dan orang-orang kecil yang miskin seperti petani, penjual dagangan di pasar, kuli, hingga pembantu rumah tangga.

Karya Sadrach ini terlihat dengan mulai tumbuhnya berbagai gereja di selatan Jawa. Para murid atau penyebar Kristen yang merupakan hasil didikannya berkelana ke seantero Jawa, terutama di sekitar daerah itu, dengan membentuk berbagai komunitas ‘Kristen Jawa’.

Setiap sore misalnya mereka mengumpulkan para petani, pemetik gula aren, dan para ‘kuli kendo’ yang ada di desa-desa untuk belajar membaca injil atau mendengar kisah-kisah ‘orang suci’ yang ada dalam Bible yang disebut dengan ‘Babad Rasul’. Sadrach dan para muridnya itu juga berinisiatif mengganti istilah-istilah Kristen Eropa dengan istilah lokal berbahasa Jawa. Gereja yang mereka dirikan kerap disebut sebagai ‘Gereka Kerasulan Baru’ (entah sekarang kalau nama ini sudah diganti, red).

Geliat penyebaran agama Kristen dan pertumbuhan gereja di Jawa makin semarak karena mereka didukung oleh kelonggaran atau bahkan fasilitas politik. Bersamaan dengan itu, yakni berakhirnya ‘Perang Jawa,’ kemudian muncul kebijakan dari pemerintah Belanda agar para bangsawan kerajaan dipisahkan kesehariannya dari kehidupan kaum pesantren. Tujuannya untuk memutus sekaigus mencegah aksi perlawanan kaum bangsawan kepada penguasa kolonial. Ini karena pesantren bagi pemerintah Belanda disebut sebagai basis perlawanan terhadapnya

Bila dulu para bangsawan kawin-mawin dengan putra-putri kiai di pesantren, saat itu tak diperbolehkan, bahkan menjadi hal terlarang. Mereka secara halus mendorong agar para bangsawan melakukan perkawinan antar sesama bangsawan saja.Situasi ini berbeda dengan era sebelum pecahnya ‘Perang Jawa’ di mana antara kaum bangsawan atau putra raja selalu terkait hubungan perkawinan dengan keluarga pengasuh pesantren.

Sementara itu, di kalangan orang biasa, setelah mendapat pendidikan yang diberikan para penyebar injil itu, maka anak keturunan para penganut Kristiani ini kemudian mendapat fasilitas pendidikan dan pekerjaan yang lebih bagus. Mereka mengeyam pendidikan umum yang didirkan para penyebar agama itu, dengan sekolah yang dikenal sebagai ‘Sekolah Masehi’ atau sekolah lain sejenisnya.

Dan ketika lulus mereka kemudian menjadi ‘priyayi baru’ karena menjadi pegawai pemerintah misalnya menjadi guru dan tenaga kesehatan. Sebuah survei yang saat itu dilakukan menyatakan: Bila ada tiga orang Kristen berkumpul, maka dua orang di antara mereka mendapat fasilitas pemerintah. Ini berbeda dengan kehidupan kaum santri (Muslim) yang malah sama sekali tidak mendapat fasilitas dari pemerintah karena menerapkan sikap politik ‘uzlah’ atau nonkooeratif dengan pemerintah kolonial.

Adanya kelonggaran politik itulah, maka tidak mengherankan bila di berbagai kampung mulai muncul penganut agama Kristen. Pendirian gereja menjadi mencolok. Di sebuah kampung di pesisir selatan Kebumen misalnya, pendirian sebuah gereja malah mendului pendirian masjid. Bahkan, selang waktu pendirian antara gereja dan masjid sampai 30 tahun meski kampung itu mayoritas penduduknya Muslim.

Kelonggaran politik ini misalnya masih teraba hingga masa Orde Baru. Misalnya, di kampung-kampung yang ada di kawasan itu hingga awal 1980-an masih terpampang papan petunjuk resmi ‘Guru Injil’ untuk menyebutkan bahwa di rumah tertentu di sekitar itu ada sesorang yang menjadi pengajar agama Kristen. Selain itu para ‘guru injil’ bule juga kerap bersliweran. Situasi ini baru berakhir setelah penguasa Orde Baru, Suharto, memutuskan bantuan IGGI setelah marah akibat perilaku yang melecehkan rakyat yang dilakukan Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda J.P. Pronk.

Alhasil, belajar dari pengalaman pendirian rumah ibadah di Jawa, maka pendirian gereja dan masjid selelau terkait dengan soal-soal kekuasaan atau politik. Di ibu Yogyakarta misalnya pendirian ‘masjid baru’ yang representatif muncul setelah datangnya era kemerdekaan, yakni dengan berdirinya Masjid Syuhada di bilangan wilayah Kota Baru dan pinggir Kali Code itu. Masjid ini didirikan untuk mengenang perjuangan rakyat pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.

Jadi selama masa penjajahan bahkan hingga akhir perang kemerdekaan (dari tahun 1830-1949 ), hampir-hampir tak ada bangunan masjid baru yang berdiri. Meski Snocuk Hurgronye menasihatkan kepada pemerintah Belanda agar tidak ‘memusuhi Islam bila hanya sekedar ekspresi ibadah’, pada kenyatannya pendirian tempat ibadah bagi kaum Muslim semasa era kolonial nyaris tidak ada.

Yang terjadi malah begitu banyak atau maraknya pendirian gereja. Bila di kawasan Kota Baru Yogyakarya pasca kemerdekaan kemudian bisa berdiri satu masjid, yakni Masjid Syuhada, maka di kawasan itu sudah terlebih dahulu berdiri beberapa gereja, serta berbagai bangunan yang diperuntukan untuk tempat ibadah dan kantor misi penyebaran agama Kristen.

Hal yang sama juga terjadi di Jakarta, di mana masjid baru yang representatif baru muncul setelah 30 tahun kemudian, yakni dengan berdirinya Masjid Istiqlal. Sebelum itu, yakni masa sebelum kemerdekaan tak ada pendirian masjid baru yang semegah itu. Bangunan tempat ibadah yang mentereng hanyalah gereja.

Akhirnya marilah semua pihak berlaku adil semenjak dari pikiran. Jangan berperilaku seperti nasihat orang Minangkabau: Tiba di perut dikempiskan, tiba di mata dipicingkan!